BerandaTradisinesia
Sabtu, 4 Mar 2022 18:15

Mengapa Sawo Kecik Banyak Ditanam di Keraton?

Pohon sawo kecik yang menaungi pelataran Keraton Yogtakarta. (Nurulfitri)

Sawo kecik dikenal sebagai tumbuhan dengan makna filosofis yang tinggi. Hal ini membuatnya banyak ditanam di sekitar keraton. Bahkan, kalau ditilik dari sisi sejarah, pohon ini seperti menjadi teman perjuangan pasukan Pangeran Diponegoro, lo.

Inibaru.id – Penangkapan Pangeran Diponegoro pada Maret 1830 menandai akhir Perang Jawa yang berlangsung sejak 1825. Setelahnya, Pangeran Diponegoro pun diasingkan ke sejumlah tempat yang jauh. Yang pertama adalah di Manado, Sulawesi Utara.

Layaknya anak ayam yang kehilangan induknya, pasukan Pangeran Diponegoro pun mulai tercerai-berai. Banyak yang akhirnya ditundukkan Belanda. Nah, bagi prajurit yang masih bertahan meski terpisah, mereka memilih untuk menanam pohon sawo kecik di sisi kediamannya sebagai penanda bahwa mereka masih memiliki perjuangan yang sama.

Selain sawo kecik, sebenarnya ada pohon lain yang jadi penanda pasukan Diponegoro, yakni pohon kemuning dan kepel. Meski begitu, pohon sawo kecik yang paling banyak ditanam dan bahkan dijadikan simbol perjuangan.

Pohon Tanda Berkumpulnya Kebaikan

Mengapa pohon sawo kecik yang dipilih? Hal ini disebabkan di rumah eyang buyut Pangeran Diponegoro, yakni di Tegalrejo, banyak tumbuh pohon sawo kecik. Selain itu, ada anggapan kalau pohon ini bisa membawa kebaikan. Maklum, dalam filosofi Jawa, sawo kecik memiliki makna sarwa becik atau serba baik.

Di lingkup keraton pecahan Kerajaan Mataram seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sawo kecik sudah sejak dulu ditanam. Pohon ini disejajarkan dengan pohon beringin, asam, dan gayam yang sama-sama dianggap memiliki makna baik menurut adat Jawa.

Di Keraton Yogyakarta, kamu bisa menemukan pohon sawo kecik di halaman belakang. Pada masa penjajahan, banyak pejuang yang berkumpul di bawah pohon ini. Mereka menyamar sebagai Abdi Dalem, lengkap dengan pakaian khasnya demi mengelabui Belanda.

Sawo kecik. (Kissparry)

Kisah Sawo Kecik Tempat Penanda Kematian

Nggak hanya jadi tempat berkumpul para pejuang, pohon sawo kecik juga memiliki cerita tersendiri sesaat sebelum Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat. Menariknya, cerita ini justru berawal dari kedatangan orang asing, yakni Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl.

Kohl yang sedang menikmati koleksi keraton tiba-tiba mengalihkan pandangan ke sejumlah ekor gagak yang hinggap di pohon sawo kecik yang ada di halaman. Kedatangan burung-burung itu sangatlah nggak biasa, Millens. Apalagi, menurut kepercayaan Jawa, burung ini menandakan kematian.

Benar saja, nggak lama usai menerima kunjungan Helmut Kohl, Hamengkubuwono IX meninggal di rumah sakit yang ada di Amerika Serikat pada 3 Oktober 1988.

Kayunya Bernilai Tinggi

Sudah cukup ya membahas soal makna filosofis atau kisah-kisah sejarah dari pohon sawo kecik di lingkungan keraton. Kalau membahas soal nilai dari pohon ini sendiri, ternyata batang sawo kecik bisa dijual dengan harga yang mahal, lo, Millens.

Kok bisa begitu? Jadi gini, Millens. Tekstur kayu dari pohon sawo kecik cenderung keras, nggak mudah retak, dan awet. Gara-gara hal ini pula, di zaman dahulu, banyak empu pembuat keris yang memakai kayu sawo kecik menjadi pegangan keris.

Kalau di zaman sekarang, kayu pohon sawo kecik yang berwana merah kecokelatan dan serat yang halus tentu bakal sangat cantik untuk dijadikan berbagai macam furniture. Pantes deh kalau nilai jualnya tinggi.

Omong-omong, di rumah kamu atau tempat lingkungan kamu tinggal, ada pohon sawo kecik nggak nih, Millens? (His/IB31/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024