Inibaru.id – Penangkapan Pangeran Diponegoro pada Maret 1830 menandai akhir Perang Jawa yang berlangsung sejak 1825. Setelahnya, Pangeran Diponegoro pun diasingkan ke sejumlah tempat yang jauh. Yang pertama adalah di Manado, Sulawesi Utara.
Layaknya anak ayam yang kehilangan induknya, pasukan Pangeran Diponegoro pun mulai tercerai-berai. Banyak yang akhirnya ditundukkan Belanda. Nah, bagi prajurit yang masih bertahan meski terpisah, mereka memilih untuk menanam pohon sawo kecik di sisi kediamannya sebagai penanda bahwa mereka masih memiliki perjuangan yang sama.
Selain sawo kecik, sebenarnya ada pohon lain yang jadi penanda pasukan Diponegoro, yakni pohon kemuning dan kepel. Meski begitu, pohon sawo kecik yang paling banyak ditanam dan bahkan dijadikan simbol perjuangan.
Pohon Tanda Berkumpulnya Kebaikan
Mengapa pohon sawo kecik yang dipilih? Hal ini disebabkan di rumah eyang buyut Pangeran Diponegoro, yakni di Tegalrejo, banyak tumbuh pohon sawo kecik. Selain itu, ada anggapan kalau pohon ini bisa membawa kebaikan. Maklum, dalam filosofi Jawa, sawo kecik memiliki makna sarwa becik atau serba baik.
Di lingkup keraton pecahan Kerajaan Mataram seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sawo kecik sudah sejak dulu ditanam. Pohon ini disejajarkan dengan pohon beringin, asam, dan gayam yang sama-sama dianggap memiliki makna baik menurut adat Jawa.
Di Keraton Yogyakarta, kamu bisa menemukan pohon sawo kecik di halaman belakang. Pada masa penjajahan, banyak pejuang yang berkumpul di bawah pohon ini. Mereka menyamar sebagai Abdi Dalem, lengkap dengan pakaian khasnya demi mengelabui Belanda.
Kisah Sawo Kecik Tempat Penanda Kematian
Nggak hanya jadi tempat berkumpul para pejuang, pohon sawo kecik juga memiliki cerita tersendiri sesaat sebelum Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat. Menariknya, cerita ini justru berawal dari kedatangan orang asing, yakni Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl.
Kohl yang sedang menikmati koleksi keraton tiba-tiba mengalihkan pandangan ke sejumlah ekor gagak yang hinggap di pohon sawo kecik yang ada di halaman. Kedatangan burung-burung itu sangatlah nggak biasa, Millens. Apalagi, menurut kepercayaan Jawa, burung ini menandakan kematian.
Benar saja, nggak lama usai menerima kunjungan Helmut Kohl, Hamengkubuwono IX meninggal di rumah sakit yang ada di Amerika Serikat pada 3 Oktober 1988.
Kayunya Bernilai Tinggi
Sudah cukup ya membahas soal makna filosofis atau kisah-kisah sejarah dari pohon sawo kecik di lingkungan keraton. Kalau membahas soal nilai dari pohon ini sendiri, ternyata batang sawo kecik bisa dijual dengan harga yang mahal, lo, Millens.
Kok bisa begitu? Jadi gini, Millens. Tekstur kayu dari pohon sawo kecik cenderung keras, nggak mudah retak, dan awet. Gara-gara hal ini pula, di zaman dahulu, banyak empu pembuat keris yang memakai kayu sawo kecik menjadi pegangan keris.
Kalau di zaman sekarang, kayu pohon sawo kecik yang berwana merah kecokelatan dan serat yang halus tentu bakal sangat cantik untuk dijadikan berbagai macam furniture. Pantes deh kalau nilai jualnya tinggi.
Omong-omong, di rumah kamu atau tempat lingkungan kamu tinggal, ada pohon sawo kecik nggak nih, Millens? (His/IB31/E07)