BerandaTradisinesia
Rabu, 4 Mei 2021 16:25

Gambaran Keserakahan Manusia Dalam Pertunjukan Seni Tari Kontemporer 'Karmaphala'

Karmaphala, kritik akan keserakahan manusia terhadap alam. (Dokumentasi Kesenian Jawa/ikinphotography)

Melalui kesenian kontemporer 'Karmaphala', UKM Kesenian Jawa (JK) Undip hendak mengingatkan manusia untuk terus menghargai dan menjaga alam.

Inibaru.id - Suara musik khas Jawa mengalun membuka pertunjukan. Kemudian, seorang lelaki terlihat berdiri dan bermonolog. Dengan gaya teatrikal, dia berbicara mengenai keindahan yang sudah disediakan alam secara cuma-cuma untuk manusia.

Begitulah gambaran pembuka dari penampilan "Karmaphala" yang dipentaskan UKM Kesenian Jawa (KJ) Universitas Diponegoro Semarang yang ditayangkan perdana di Youtube pada 29 Maret 2021 lalu.

Sebagai persembahan untuk Hari Tari Internasional 2021, Karmaphala digarap untuk menyentil kelakuan buruk manusia. Ketua KJ Undip Wisnu mengatakan, dia dan teman-temannya bermaksud menyentil manusia atas keserakahannya terhadap alam.

“Karmaphala terdiri atas dua kata, yakni 'karma' dan 'pala' yang bisa diartikan sebagai hasil perbuatan," terang sosok yang mencetuskan judul Karmaphala dalam seni pertunjukan kontemporer tersebut.

Digarap secara offline lalu dipertontonkan secara online di medsos, pertunjukan Karmaphala adalah semacam kritik sosial terhadap masyarakat yang abai terhadap alam. Anjar selaku pemimpin produksi mengungkapkan, ide ini berangkat dari keresahan para seniman muda ini atas bencana yang sering melanda Indonesia.

"Kami merasa salah satu penyebab tragedi (bencana alam) ini adalah perusakan alam yang dilakukan oleh manusia," kata dia.

Tari, Musik, dan Monolog

Selain seni tari, Karmaphala juga menggabungkan unsur seni musik dan monolog. (Dokumentasi Kesenian Jawa/ikinphotography)

Dibuka dengan monolog, pertunjukan seni yang dipersiapkan secara serius itu kemudian diikuti dengan kemunculan beberapa orang bercaping. Orang-orang itu menari, berlenggak-lenggok diiringi irama musik yang bertalu-telu. Seni tari, musik, dan monolog itu pun berpadu selaras membentuk Karmaphala.

Kendati dibuat untuk memeriahkan Hari Tari, UKM KJ Undip memang nggak hanya menampilkan sebuah pergelaran tari. Karmaphala menggabungkan tarian dengan seni musik dan monolog. Lebih dari itu, nuansa tradisional Jawa yang kental dalam pergelaran itu pun tampak apik dengan sentuhan seni kontemporer di dalamnya.

"Sentuhan kontemporer dalam pentas ini bertujuan agar tetap bisa merangkul kalangan anak muda,” ujar Anjar.

Pertunjukan Karmaphala kemudian ditutup kembali dengan monolog yang menggambarkan penyesalan manusia akan perbuatan merusak alam yang mereka lakukan.

Buah dari Kerja Keras

Meski bernuansa khas Jawa, Karmaphala juga memasukkan unsur kontemporer. (Dokumentasi Kesenian Jawa/ikinphotography)

Dalam menggarap Karmaphala, Anjar dan kawan-kawannya memang tampak cukup serius. Proses kreatifnya memakan waktu nggak kurang dari 2,5 bulan. Selama penggarapan tersebut, Anjar mengaku banyak mengalami kejadian yang cukup mendebarkan, salah satunya peristiwa kesurupan yang dialami dua pemainnya.

“Salah satu yang kesurupan bilang kalau kami semua harus pergi dari tempat latihan. Untung kejadian itu pas kami sudah selesai take video,” kenang Anjar, lalu tertawa. "Kami bersyukur Karmphala bisa diproduksi dengan baik."

Anjar dkk memang patut bangga dengan pencapaian mereka ini. Mereka memang sejatinya nggak pernah membayangkan bakal bikin pergelaran dari semacam ini. Tahun sebelumnya, KJ Undip memeriahkan Hari Tari Internasional dengan ikut serta pada perelaran tari di ISI Solo.

Namun, karena pandemi, para anggota UKM tingkat universitas yang berdiri sejak 1970 itu pun memutuskan untuk membuat pentas secara mandiri. Anjar berpikir, meski masih pandemi, para seniman harus tetap aktif berkesenian, salah satunya dengan memaksimalkan media sosial.

Kamu tertarik dengan video Karmaphala ini? Silakan buka kanal Youtube Kesenian Jawa Undip mengetik "karmaphala” di kolom pencarian Youtube. Dijamin bakal banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan, deh! (Bayu N/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024