BerandaTradisinesia
Jumat, 5 Nov 2020 18:00

Eksistensi Bioskop di Semarang, Siasat Orde Baru yang Tumbang karena Sinetron

Banyaknya bioskop yang pernah berdiri di Semarang ternyata memiliki alasan khusus. (Inibaru.id/ Audrian F)

Kemunculan 27 bioskop di Semarang pada medio 1980-an bukannya tanpa alasan khusus. Ini 'ulah' Orde Baru. Tumbangnya bioskop-bioskop tersebut sedekade kemudian juga nggak terjadi begitu saja. Ada peran kemunculan sinetron di televisi Tanah Air di situ.<br>

Inibaru.id - Puluhan tahun silam, gedung-gedung bioskop begitu menjamur di Kota Semarang. Sepengetahuan Imam Rahmaydi, pengamat cum dosen perfilman, nggak kurang dari 27 bioskop pernah berdiri di ibu kota Jawa Tengah tersebut.

Imam menuturkan, gedung bioskop itu berdiri di setiap distrik yang ada di Semarang. Masing-masing bioskop memiliki penontonnya atau segmen sendiri. Ada yang diperuntukkan bagi kalangan elite, menengah, dan bawah. Ada pula yang hanya memutar film silat, legenda Nusantara, hingga film India.

Selain itu, cara promosi sebagian bioskop di Semarang juga unik. Kamu yang lahir awal 1980-an mungkin masih ingat gimana film anyar dipromosikan. Yap, pengelola bioskop akan memasang spanduk di mobil pikap, lalu berkeliling kota sembari woro-woro pakai TOA.

"Salah satunya, Peterongan Theater (yang melakukan promosi dengan mobil keliling)," ungkap Imam.

Bekas gedung Bioskop Banyumanik Theater yang masih utuh. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Kemunculan banyaknya bioskop ini tampak mencolok karena hadir dalam rentang beberapa tahun, yakni antara tahun 1978 sampai 1985. Menurut Imam, hal itu juga bukan tanpa sebab.

“Saya kira itu sebagai bentuk siasat politik Orde Baru,” duganya.

Menjamurnya bioskop di Kota Semarang agaknya juga terjadi di kota-kota lain. Imam mengungkapkan, bioskop mungkin menjadi semacam siasat agar masyarakat lupa dengan kondisi negara dan agar mereka juga nggak banyak mengkritisi pemerintah.

Kemudahan Distribusi Rol Film

Bioskop layar tancap akhirnya muncul lagi pada 2020 saat pandemi melanda. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Kendati sekitar 1980-an Indonesia belum memproduksi rol film sendiri dan harus membuatnya di luar negeri, bisnis bioskop di negeri ini bisa berkembang karena adanya kemudahan akses dan distribusi rol film. Perizinan yang gampang tersebut pula yang kemudian menelurkan bioskop kelas menengah.

Disebut kelas menengah karena gedung dan fasilitas seperti kursi penontonnya dibuat sangat sederhana. Namun, bagi masyarakat Tanah Air yang kala itu nggak memiliki banyak pilihan hiburan, hal tersebut tentu nggak menjadi soal.

Sayang, kedigdayaan bioskop nggak bertahan lama. Kemunculan kaset betamax, pita, hingga era VCD dan DVD membuat bioskop kelimpungan menjaring penonton. Pamor gedung pemutar film pun mulai meredup, mundur teratur, bahkan tumbang sedekade berselang

“Pokoknya, sekitar tahun 1991 bioskop-bioskop sudah mulai gulung tikar,” ujar Imam.

Bekerja di Bioskop Itu Kebanggaan

Datangnya kaset CD/DVD turut menggerus eksistensi bioskop. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Imam mengatakan, pada era keemasan, bekerja di bioskop sangat memiliki prestise. Nggak peduli strata bioskopnya, baik kelas menengah atau pun atas, berprofesi dengan embel-embel "bioskop" merupakan sebuah kebanggaan.

“Waktu itu katakanlah bisa memacari perempuan perobek karcis saja sudah dikatakan hebat,” ungkapnya. Hm, menarik!

Namun, kebanggaan itu berangsur sirna seiring dengan kian redupnya pamor bioskop. Selain modernisasi, faktor yang juga memengaruhi kejatuhan bioskop adalah ekspansi keluarga Raam Punjabi ke Indonesia dalam memproduksi sinema kejar tayang atau sinetron elektronik (sinetron).

Kehadiran sinetron di dunia pertelevisian Tanah Air membuat masyarakat jadi nggak perlu ke bioskop untuk menikmati tayangan bergerak. Inilah pula yang kemudian menumbangkan bioskop di Semarang, meski nggak seluruhnya mati.

Beberapa bioskop masih bertahan hingga kini. Namun, nggak sedikit yang sekarang tinggal bangunan mangkrak atau telah beralih fungsi. Kalau kamu, adakah kenangan terhadap bioskop-bioskop lawas ini, Millens? (Audrian F/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024