BerandaTradisinesia
Jumat, 25 Jul 2024 18:22

Dua Insan Douwes Dekker pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, penulis buku Max Havelaar. (Narasisejarah)

Tahu nggak kalau Douwes Dekker itu ada dua orang? Mereka hidup pada masa yang berbeda. Tapi, dua-duanya punya jasa penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Inibaru.id – Dalam buku-buku sejarah Indonesia, nama Douwes Dekker cukup sering disebut bersamaan dengan istilah-istilah seperti Max Havelaar, Multatuli, atau Tiga Serangkai. Karena namanya sangat khas dan nggak Indonesia banget, kita pun cukup hapal dengan nama tersebut. Tapi, kamu sudah tahu belum kalau sebenarnya ada dua Douwes Dekker dalam cerita perjuangan kemerdekaan Indonesia?

Kebanyakan dari kita berpikir jika Douwes Dekker adalah satu orang saja. Tapi, jika kita cek urutan tahun di mana Douwes Dekker menulis novel Max Havelaar (1860) dan menjadi tokoh Tiga Serangkai jelang kemerdekaan Indonesia, tentu membuat kita berpikir, apakah mungkin rentang hidup Douwes Dekker selama itu?

Dari keanehan inilah, kita bisa mencari tahu lebih dalam siapa Douwes Dekker yang pertama, alias yang lebih tua. Dia adalah seorang penulis dengan nama pena Multatuli dan menulis novel Max Havelaar yang isinya adalah kritik tajam terhadap bangsanya sendiri atas penjajahan di Hindia Belanda.

Yang satu ini bernama lengkap Eduard Douwes Dekker dan lahir di Amsterdam, Belanda. Lahir di kalangan keluarga mapan, dia ditempatkan orang tuanya di sebuah perusahaan tekstil dan membuatnya mengenali kehidupan kalangan bawah.

Dia pindah ke Jawa, Hindia Belanda pada 1838 dan menjadi seorang kelasi kapal di Batavia pada 1839. Setelah itu, dia menjadi pegawai negeri sipil (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia sebelum dipindah ke Natal (Mandailing Natal), Sumatera Utara, Purworejo, Manado, Ambon, lalu ke Lebak (Banten).

Di Lebak inilah, dia melihat pemerasan, kerja rodi, dan hal buruk lain yang dilakukan orang-orang Belanda terhadap kaum bumiputera Hindia Belanda. Sempat memprotes ini ke alasannya, dia justru mendapatkan peringatan. Hal ini membuatnya kecewa dan memilih pulang ke Eropa. Setelah itu, dia bekerja di media massa hingga kemudian menulis buku Max Havelaar dengan nama pena Multatuli.

Nggak hanya laku keras di Eropa, buku yang banyak menceritakan tentang tanam paksa dan penjajahan di Hindia belanda ini seperti membuka mata banyak orang Belanda tentang kejamnya penjajahan. Buku ini sedikit banyak memengaruhi dihapusnya kebijakan tanam paksa dan munculnya kebijakan Politik Etis yang intinya adalah memberikan timbal balik positif bagi kehidupan masyarakat Hindia Belanda.

Ernest Douwes Dekker (tengah), bagian dari Tiga Serangkai pendiri Indische Partij. (Budaya.jogjaprov)

Nah, si Eduard Douwes Dekker ini adalah adik dari Jan Douwes Dekker, kakek dari Douwes Dekker kedua dalam kisah perjuangan Indonesia, yaitu Ernest Douwes Dekker.

Eduard meninggal pada 19 Februari 1887, tatkala Ernest baru berusia 8 tahun. Meski yang disebut terakhir namanya Belanda banget, Ernest lahir di Pasuruan, Jawa Timur. Sejak kecil, dia sudah melihat banyak kesewenang-wenangan penjajah terhadap kaum pribumi.

Nah, tatkala Politik Etis diberlakukan pada 1901, Ernest yang sudah bekerja di media massa pun banyak menulis artikel yang mengritik kebijakan penjajah. Dia juga mendapatkan banyak teman-teman berpendidikan yang kemudian merintis pergerakan kemerdekaan Indonesia seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo.

Bersama dengan Cipto dan Suwardi Suryaningrat, Ernest kemudian mendirikan Indische Partij alias Partai Hindia. Tujuan dari partai ini jelas, yaitu pengin Indonesia merdeka. Ernest juga aktif dalam dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Institut di Bandung.

Setelah Indonesia merdeka, Ernest diberi nama Danudirja Setiabudi oleh Sukarno. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, nama Setiabudi dijadikan nama jalan di Jakarta, Semarang, dan kota-kota lainnya. Bahkan, di Jakarta, namanya juga dijadikan nama kecamatan, Millens.

Gimana, sudah mengerti kan sekarang perbedaan dua Douwes Dekker yang hadir di buku-buku sejarah Indonesia, Millens? Jangan lagi mengira mereka itu satu orang, ya? (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024