BerandaTradisinesia
Selasa, 26 Sep 2022 17:05

Derita Anak Nyai, Darah Campuran yang Jadi Orang Buangan

Foto Roebiam dan kedua anaknya pada 1920. (Sejarah Jakarta)

Meskipun lahir dari ayah seorang berkebangsaan Eropa dan ibu yang berasal dari pribumi, bukan berarti nasib anak pada zaman kolonial tersebut istimewa. Nyatanya, nasib mereka justru malang. Mereka mengalami diskriminasi dan nggak diterima masyarakat.

Inibaru.id - Pada saat VOC berkuasa di Tanah Air, praktik pergundikan tumbuh subur. Betewe, kalau kamu masih nggak tahu dengan definisi pergundikan, artinya adalah praktik perkawinan nggak sah yang terjadi antara perempuan pribumi dengan orang Eropa, khususnya Belanda.

Meskipun nggak sah, para gundik itu bukanlah pelacur karena mereka tidak menjual diri demi uang kepada setiap laki-laki yang menginginkannya. Mereka sebenarnya menjalankan kehidupan rumah tangga dengan suaminya sebagaimana orang-orang yang menikah pada umumnya.

Banyak istilah untuk menyebut para gundik pada masa itu. Yang paling populer adalah 'nyai'. Istilah nyai atau nyahi berasal dari Bahasa Bali yang artinya adik perempuan atau perempuan muda. Sebutan nyai juga digunakan dalam wilayah Sunda yang berarti perempuan dewasa.

Pada masa Hindia Belanda, tepatnya saat praktik pergundikan cukup sering terjadi, istilah nyai pun punya konotasi yang cukup luas dari gundik, selir, atau wanita simpanan para pejabat dan serdadu Belanda.

Sebagaimana istri pada umumnya, para gundik ini memberikan keturunan bagi suami kulit putih mereka. Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan pergundikan disebut sebagai voorkinderen. Jika pada masa sekarang anak dari ras campuran ini dianggap istimewa, pada masa itu, mereka justru masuk dalam orang-orang yang didiskriminasi dan nggak diterima baik itu dari kalangan Belanda ataupun pribumi.

Potret keluarga Van der Velden bersama Nyai dan putrinya. (Nationalgeographic)

Bagi orang-orang Belanda, anak-anak hasil pergundikan ini dianggap menurunkan prestise orang kulit putih. Apalagi, saat itu, orang kulit putih merasa orang-orang pribumi ada di kelas yang lebih rendah dari mereka.

Keberadaan mereka bahkan sampai membuat VOC mengeluarkan aturan pada 1715. Dalam aturan tersebut, tercantum larangan mengangkat keturunan campuran menjadi pegawai VOC. Apalagi bila masih tersedia orang kulit putih yang berpotensi. Dalam pengumumannya, VOC menekankan bahwa orang Eropa tulen harus diterima bekerja dengan berbagai cara dan lebih diutamakan dibanding anak-anak Indo-Eropa.

Diskriminasi pada anak-anak Indo-Eropa terus berlanjut ketika kekuasaan dipegang langsung pemerintah Belanda. Mereka nggak bakal dengan mudah mendapatkan pekerjaan yang setara dengan orang-orang kulit putih tulen.

Bahkan, catatan pada 1839 mengungkap bahwa anak-anak yang lahir dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi dipastikan kehilangan hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa, khususnya di Royal Academy Delft, Belanda. Padahal, pemerintah Belanda hanya mengangkat orang-orang lulusan Royal Academy untuk menjadi pejabat eselon.

Departemen dalam negeri Hindia-Belanda di Jawa dan Madura juga tidak menerima anak-anak ini. Pemerintah nggak pengin penduduk negeri jajahan berhadapan dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ilegal, apalagi duduk di pemerintahan. Menurut pemerintah kolonial, kehadiran mereka dalam tubuh pemerintahan hanya mencoreng citra Belanda sebagai negara beradab.

Pada akhirnya, kebanyakan anak-anak Indo-Eropa yang tidak beruntung ini menjadi tukang, penjahit, petugas telegra,, tukang pos, mekanik, dan petugas pengukuran kadaster.

Beda banget ya nasib anak keturunan Eropa pada zaman dahulu dan zaman sekarang, Millens? (His/IB32/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: