BerandaTradisinesia
Selasa, 9 Sep 2024 11:03

Bisik Serayu Festival 2024 Ajak Masyarakat Cinta Seni dan Alam Semesta

Hari kedua Bisik Serayu Festival 2024 meriah dengan suguhan tari dari seniman dalam dan luar negeri. (Humas Pemkab Banyumas)

Nggak semata menyuguhkan tarian, Bisik Serayu Festival 2024 mengajak masyarakat dan anak-anak untuk melestarikan alam terutama sungai sembari terus menghidupkan kesenian daerah.

Inibaru.id - Malam Minggu (7/9) di pinggiran Sungai Serayu, Banyumas menjadi sangat istimewa karena riuh dengan penampilan tari dan musik lengger. Maestro lengger Banyumas, Rianto secara spontan turun memeragakan gerak tari kontemporer ke gelanggang pertunjukan di tengah-tengah musisi dan komposer dari Spanyol Rodrigo Parejo yang menyajikan karyanya. Penampilan tersebut memukau penonton sekaligus menutup malam kedua pagelaran Bisik Serayu Festival 2024.

Hari kedua festival bertema “Budaya di Sudut Serayu” yang berlangsung pada 6-8 September 2024 itu lebih banyak menampilkan tari dan musik. Sebelum Rodrigo, kolaborasi Sean Hayward, Mukhlis Anton Nugroho, dan Dolly Nofer menyuguhkan musik dengan nyanyian tema sungai dan harmonisasi alam.

Lagu tentang sungai juga dibawakan penyanyi Melati Ayumi & Friends yang melibatkan Bibi Retno. Lagu tradisonal Meksiko yang dibawakan Duo Nayeche (Leon dan Soladi) turut memeriahkan festival yang dipusatkan di gelanggang pertunjukan dengan konsep “mandala” Joglo Gayatri, Rianto Dance Studio, di Desa Kaliori, Kalibagor, Banyumas.

Yang nggak kalah menyegarkan adalah penampilan tari topeng dari Indramayu. Dibuka dengan penari cilik balita dan remaja usia 14 tahunan yang mengenakan topeng, maestro tari topeng Indramayu, Jawa Barat, Wangi Indriya memikat perhatian para penonton.

Sanggar-sanggar tari lokal seperti Graha Mustika, Kalamangsa, Putra Bongas, dan Panginyongan, nggak ketinggalan memeriahkan hari kedua Bisik Serayu Festival 2024 sejak Sabtu siang. Selain Wangi Indriya, penari-penari dari luar Banyumas seperti dua penari asal Jepang, Miray Kawashima dan Yuka Takahashi, menarikan Tajidor Kahot dari ‘tatar’ Sunda, dan Mila Rosinta (Yogyakarta) menyempurnakan.

Budaya dan Sungai

Banyak seni budaya yang lahir dari ekosistem sungai. (Humas Pemkab Banyumas)

Gagasan festival budaya dengan seluruh karya yang tampil kali ini sejatinya dilatari keprihatinan Rianto tentang ekosistem budaya sungai yang sudah mulai hilang. Terlebih, filosofi lengger Banyumas, menurut penari lulusan ISI Surakarta ini, sangat lekat dengan air dan sungai.

“Spiritualitas dan inspirasi lengger bermula dari medium air, sungai, dan habitat di dalamnya,” ungkap Rianto.

Karena itu, lewat Bisik Serayu Festival 2024 Rianto ingin membangun kembali ekosistem budaya yang harmonis dan mendamaikan dengan berbagai kegiatan kesenian yang didasarkan dari pengetahuan yang bersumber dan terhubung dengan alam sehingga kesenian memiliki jiwa.

Rianto menegaskan, banyak seni budaya yang lahir dari ekosistem sungai. Salah satunya adalah kunclungan, sebuah permainan air yang menghasilkan bunyi atau suara menyerupai ketukan gendang. Salah satu syair lengger ada yang berisi tentang ratapan tentang kehidupan sungai. Begitupun keweran pada gerak lengger adalah ekspresi ikan yang berenang.

“Pada festival ini, kunclungan akan ditampilkan dalam bentuk koreografi di atas panggung dengan konsep mandala,” ujar lelaki yang mendirikan Teras Serayu dan Riyanto Dance Studio.

Mimpi Rianto untuk kembali menghidupkan kesadaran publik di daerah-daerah yang dilewati Sungai Serayu demi menjaga ekologi yang ada di aliran sungai yang bermuara di Samudra Hindia ini membutuhkan kerja sama semua pihak, bahkan anak-anak. Sebab, dia mengakui jika perkembangan zaman telah menjauhkan anak-anak dari alam yang lebih memilih bermain menggunakan gadget.

“Ketika persiapan, saya mengajak anak-anak sekitar sini untuk ikut membersihkan lokasi acara, memunguti sampah. Lalu beberapa mereka langsung nyemplung di air dan membersihkan banyak sampah yang berserakan di Sungai Serayu,” ujar Rianto.

Seni Jangan Hanya Jadi Produk

Festival seni seperti 'Bisik Serayu' diharapkan mampu mendorong kesadaran banyak orang untuk melestarikan kebudayaan guna menjaga lingkungan sungai. (Humas Pemkab Banyumas)

Tercerabutnya seni dan budaya dari alamnya tidak saja menjadi kecemasan Rianto. Kendati alam melahirkan ruang-ruang budaya, tetapi karya-karya seni yang tumbuh dari ruang tersebut banyak yang berhenti sekadar menjadi produk. Masyarakat pun kian terasing dari alam sekitar yang menghidupinya.

Keresahan ini mengemuka dalam diskusi tentang ekosistem budaya sungai yang melibatkan narasumber Elisabeth D. Inandiak, sastrawati berkebangsaan Prancis yang selama 30 tahunan fokus mempelajari kesusasteraan Jawa; Misbahuddin yang kerap dipanggil Daeng Bilok, seniman asal Selayar, Sulawesi Selatan; Ragil pendamping Desa Kaliori, dan Titi Ngudiati dari Dompet Duafa.

Mereka membahasnya dalam Diskusi Ngudarasa Budaya dan Ekosistem Sungai juga di hari kedua festival (7/9). Diskusi Sabtu sore itu mendapat respons dari salah seorang peserta yang hadir, Gatot (55) dari Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) Jaga Kali Sokaraja. Dia terpanggil untuk ikut diskusi sambil mengajak anaknya yang sore itu tampil menari dalam festival.

Menurutnya selama ini festival di Banyumas sering sekali hanya sebatas hiburan. Jarang yang membicarakan persoalan sosial. Dia berharap kegiatan ini bisa diteruskan dan mendorong kesadaran banyak orang untuk melestarikan kebudayaan guna menjaga lingkungan sungai.

“Festival ini menarik karena mengangkat kondisi terkini Sungai Serayu. Sungai bagi masyarakat Banyumas sudah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Menurunnya kualitas air sungai Serayu berdampak pada penghidupan warga karena banyak ikan yang mati,” ujar Gatot yang juga adalah pemancing.

Ya, dari acara Bisik Serayu 2024 ini kita jadi tahu bahwa sungai yang mengalir nggak sekadar menumbuhkan pohon dan ekosistem sekitar tapi juga menghidupkan seni, budaya, serta nilai-nilai pada masyarakat. Keren sekali, ya? (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024