Inibaru.id - Sejak zaman dahulu di masyarakat Jawa ada banyak tradisi dengn ritual dan larangan yang menyertainya. Begitu pula tradisi sedekah bumi yang dimiliki warga Pati, Jawa Tengah. Tradisi sebagai wujud syukur akan hasil bumi ini masih dianggap sakral hingga sekatang.
Tradisi yang diadakan setiap setahun sekali pada bulan Apit ini memang selain memiliki kesan hiburan juga memiliki larangan-larangan yang perlu ditaati. Contohnya tradisi sedekah bumi yang digelar di Desa Gulangpongge, Kecamatan Gunungwungkal pada Kamis, 15 Juni lalu.
Dalam acara tersebut, masyarakat Gulangpongge meyakini ada beberapa pantangan yang nggak boleh dilanggar. Mereka mempercayai bahwa apabila ada pantangan yang dilanggar, hal-hal yang nggak diinginkan bisa saja terjadi.
Hal ini dibenarkan oleh Kuntardi, kepala Desa Gulangpongge yang saya temui usai perhelatan sedekah bumi. Dia menjelaskan bahwa memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan warga saat menggelar sedekah bumi setiap hari Kamis Pahing, Bulan Apit ini.
Kuntardi menjelaskan ada beberapa larangan yang berlaku mulai sehari sebelum hari H sedekah bumi. Larangan itu misalnya warga nggak boleh 'menyentuh bumi' sejak hari Rabu Legi. Di hari Rabu paginya, ada ritual pemotongan hewan kerbau yang menjadi pembuka rangkaian acara sedekah bumi.
“Sejak darah kerbau yang dipotong itu menetes ke tanah, warga desa nggak boleh menyentuh bumi selama dua hari. Artinya warga nggak boleh melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pertanian atau bercocok tanam,” terang Kuntardi saat ditemui Inibaru.id di kediamannya.
Menurut Kuntardi, larangan ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan kepada bumi sebelum melaksanakan tradisi sedekah bumi di keesokan hari.
Larangan lain yang berlaku bagi warga Desa Gulangpongge yakni nggak boleh memiliki rasa iri, dengki, dan amarah di dalam hatinya.
“Sedekah bumi ini adalah momentum untuk saling berbagi, mbak. Masyarakat sebagai tuan rumah sedekah bumi ini berbagi hasil bumi berupa makanan dan jajanan untuk warga desa lain yang datang. Hal ini harus dilandasi rasa ikhlas yang tulus,” ucap Kuntardi.
Selain dua larangan tadi, ada satu larangan lagi yang paling disakralkan yakni semua yang menghadiri acara sedekah bumi Desa Gulangpongge nggak boleh mengenakan pakaian bewarna hijau muda. Larangan ini berlaku bagi warga Gulangpongge, warga luar desa, maupun para penampil kesenian sedekah bumi di Gulangpongge.
“Konon katanya mbah danyang desa Gulangpongge itu memakai pakaian serba putih dan memakai selendang hijau muda untuk ikat pinggang, mbak,” tutur lelaki 56 tahun itu.
Menurut Kuntardi, pernah ada kasus dimana dalang pertunjukan wayang yang akan tampil di Desa Gulangpongge itu memakai pakaian hijau muda. Nggak selang berapa lama, kejadian nggak mengenakkan pun terjadi.
“Dulu ada dalang muda yang keukeuh memakai baju hijau muda. Sudah saya ingatkan, tapi dia tetap nggak ganti. Baru saja naik panggung, akhirnya dia sakit perut dan diganti dalang lain,” ucap Kuntardi sembari mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu.
“Akhirnya, saya arahkan untuk meminta ngapuro (permohonan maaf) ke makam danyang desa di punden itu. Setelah itu dia ziarah dan minta maaf. Alhamdulillah malam harinya dia sudah bisa pentas,” imbuhnya.
Larangan nggak tertulis itu memang paling terkenal diantara semua larangan yang lain. Sebagai generasi penerus, memang sudah sebaiknya kita menghormati dan melestarikan tradisi warisan leluhur kita. Bukan begitu, Millens? (Rizki Arganingsih/E10)