BerandaTradisinesia
Selasa, 17 Okt 2022 13:00

Awalan ‘Su’ Pada Nama Jawa yang Dulu Digandrungi, Kini Mulai Hilang

Orang Jawa memberi nama anak mereka nama yang sederhana, pendek dan khas Jawa, yaitu dengan awalan 'su' dan 'nga'. (Jbbudaya.jogjabelajar)

Meski pendek dan sederhana, nama orang Jawa zaman dahulu mempunyai makna yang mendalam. Yang paling sering adalah penggunaan awalan ‘su’ yang berarti baik.

Inibaru.id - Menarik banget mengamati perkembangan nama-nama bayi yang lahir di era sekarang ya, Millens? Para orang tua yang umumnya ada pada golongan usia milenial itu memberi nama anaknya dari kata yang terinspirasi dari banyak hal.

Sementara, pola penamaan masyarakat zaman dahulu kepada anak yang baru lahir hampir mirip satu sama lain. Mereka memberi nama yang sederhana, pendek dan khas Jawa, yaitu dengan awalan 'su' dan 'nga'. Contohnya adalah Sutomo, Suharmi, Sunarti, Ngadiran, Ngadirah, Ngadimin, dan masih banyak lagi.

Selain itu, ada juga pola nama akhiran konsonan 'so, to, no, dan wo' untuk laki-laki dan akhiran 'si, ti, dan ni' untuk perempuan. Misalnya saja Sarno, Karto, Purwo, Karsi, dan Karni.

Menurut artikel berjudul “Saat Orang Jawa Memberi Nama: Studi Nama di Tahun 1950-2000” yang terbit dalam jurnal Patrawidya, pada masa lalu orang Jawa mudah dikenal dari nama yang melekat pada mereka.

Merujuk Pada Pasaran Jawa

Pada era 1950-an dan 1960-an nama-nama merujuk pada hari kelahiran menurut pasaran,bulan, tahun, windu atau wuku. (Gndhokkulon)

Studi tersebut juga menjelaskan, keluarga-keluarga petani biasanya memberi nama yang singkat saja untuk bayi yang baru lahir dan sering merujuk pada hari kelahiran sang bayi. Contohnya adalah nama Ponimin atau Poniyah yang merujuk pada hari pasaran Jawa yaitu Pon, dan nama Legimin atau Legiyah yang merujuk pada pasaran Legi.

Nama-nama yang merujuk pada hari kelahiran menurut pasaran, bulan, tahun, windu atau wuku banyak dijumpai pada era 1950-an dan 1960-an.

Selain merujuk pada hari kelahiran, dalam golongan yang lebih tinggi orang Jawa memberikan nama anaknya dengan mengambil dari cerita-cerita wayang atau kesusastraan Jawa. Contohnya adalah Sukarno, Suroto, Suhadi, Sriyati, atau Kartini.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, nama tersebut kemudian berkembang menjadi lebih panjang, umumnya terdiri dari 2 kata. Kalaupun terdiri hanya satu kata, nama tersebut paling nggak merupakan susunan dari 3 suku kata atau lebih, seperti Sugiono atau Hartono.

'Su' yang Berarti Baik

Orang Jawa zaman dulu banyak menggunakan nama dengan awalan 'su' yang mengandung arti baik. (Buddhazine)

Melansir dari Detik, Sabtu (15/10/2022), menurut studi yang dilakukan Sahid Teguh Widodo dengan judul “Konstruksi Nama Orang Jawa: Studi Kasus Nama-Nama Modern di Surakarta”, orang Jawa zaman dulu banyak menggunakan nama dengan awalan 'su'. Contohnya Suhardi. Menurutnya, awalan 'su' pada nama Suhardi merupakan sebuah morfem.

Kata 'su' sendiri mengandung arti baik. Contohnya, nama Sudarmi yang memiliki makna 'wanita yang memiliki akhlak yang baik dan mulia'. Selain itu, Sumitro yang maknanya 'harapan dapat menjadi sahabat yang baik'.

Penelitian yang telah terbit dalam jurnal Humaniora tersebut mencatat, dalam khazanah nama orang Jawa terdapat banyak unsur nama yang memiliki suku kata awal Su-, Sa-, Wi, dan Sri.

Kalau kamu masih penasaran dengan bagaimana orang Jawa zaman dulu memberi nama anak-anaknya, ada beberapa literatur yang bisa kamu baca, Millens. Meski terbatas, buku-buku ini secara nggak langsung membahas tentang nama orang Jawa. Di antaranya karya Koentjaraningrat (1984), Ki Hudoyo Doyopuro (1996), Hadiwijana (1968), Mutawakil (1989), Miftah Farid (1998), dan Kitab Primbon Betal Jemur Adam Makna (1934).

Nah, memasuki era 1990-an dan 2000-an, tren nama orang Jawa sudah mulai berubah, kan? Nama-nama baru itu cenderung panjang dan kata-katanya diadopsi dari berbagai sumber yang berkesan modern. Kalau kamu, lebih suka nama yang simpel atau panjang nih, Millens? (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024