BerandaPasar Kreatif
Sabtu, 8 Jul 2022 18:00

Uniknya Produksi Garam di Grobogan, Kabupaten Tanpa Garis Lautan

Pembuatan garam di Desa Jono, Grobogan. (Medcom/Antara/Yusuf Nugroho)

Kabupaten tanpa garis pantai ini jauh dari lautan, tapi dikenal sebagai salah satu 'Kota Garam' di Jawa Tengah. Penasaran? Beginilah uniknya produksi garam di Grobogan.

Inibaru.id – Hari yang cerah adalah berkah terbesar bagi Kuswati. Nggak hanya dia, mungkin juga seluruh petani garam di Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ya, Para Kuswati dkk memang masih "menyembah" matahari untuk urusan produksi garam.

Kendati kediaman Kuswati jauh dari lautan, bahkan Grobogan nggak punya garis pantai, sudah sejak lama dia dan penduduk Desa Jono mendaku sebagai petani garam. Menurut Kuswati, produksi garam di desa ini sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Bukan dari air laut, air asin didapatkannya dari sebuah sumur.

Sumur yang dimaksud Kuswati sudah berusia sangat tua. Airnya panas. Butuh waktu 10-15 hari untuk menjemur air sumur yang dikeringkan di bawah terik matahari. Namun, sebelum itu, masih ada beberapa proses yang harus dilalui.

Proses Panjang, Hasil Kurang

Garam Grobogan yang diproduksi di Desa Jono. (Kompas/Puthut Dwi Putranto)

Para petani memulai produksi garam dengam menimba air asin di sumur, lalu mengalirkannya melalui paralon ke sebidang kolam untuk didinginkan. Setelah itu, air dipindahkan ke bambu-bambu panjang yang sudah dibelah dua untuk dijemur.

"Setelah 10-15 hari, air akan mengering dan menghasilkan kristal garam," ujarnya, Oktober 2021.

Pada musim kemarau atau saat matahari bersinar terik sepanjang hari, proses penjemuran air garam hanya butuh waktu 10 hari. Situasinya akan berbeda kalau curah hujan tinggi. Selain lama keringnya, mereka juga harus menutup kolam dengan terpal agar air garam nggak tercampur dengan air hujan.

Jika sudah kering dan hanya tersisa butiran garam, petani tinggal memanen hasilnya. Sekali panen mereka bisa menghasilkan nggak kurang dari 50 kilogram garam, bahkan mencapai 100 kilogram. Namun, pada musim penghujan paling-paling mereka memanen 10 kilogram.

Pada 2021, sekali panen Kuswati bisa mendapatkan uang sekitar Rp 500 ribu. Pembelinya datang dari Grobogan dan sekitarnya, bahkan sampai Brora dan Yogyakarta. Namun, pendapatannya nggak bisa dibilang memadai, karena dalam sebulan dia hanya bisa dua kali panen.

Mulai Ditinggalkan?

Para petani garam didominasi orang tua. (Medcom/Antara/Yusuf Nugroho)

Pendapatan para petani garam umumnya hanya cukup untuk makan sehari-hari, padahal modal yang harus mereka keluarkan untuk memulai usaha ini terbilang besar; sekitar Rp 2,5 juta hanya untuk membeli 50 batang bambu.

Oya, para petani garam tersebut menggunakan bambu sebagai wadah air garam karena awet dan mampu meningkatkan produksi. Untuk bambu, mereka memakai pring petung atau bambu betung (Dendrocalamus asper) yang memiliki lingkar batang cukup besar dan berkualitas tinggi.

"Bambu betung bisa bertahan cukup lama, antara satu sampai dua tahun," tutur Kuswati.

Hingga kini, uniknya produksi "garam darat" di Grobogan masih bisa kamu lihat sendiri. Kalau kebetulan sedang melintas di jalur utama Purwodadi-Blora, Desa Jono berada di kanan jalan. Namun, kondisinya sudah jauh berbeda, karena banyak yang memilih mengeringkan kolam.

“Dulu, banyak yang produksi garam, tapi sekarang (kolam garam) sudah jadi rumah," ujar perempuan berusia 40-an tahun tersebut. "Anak muda pun jarang yang mau jadi petani garam.”

Produksi garam di Grobogan agaknya memang butuh perhatian lebih. Unik, tapi tanpa generasi penerus dan hasil yang memadai, mungkin suatu hari judul artikel ini perlu diganti: Uniknya Bekas Produksi Garam di Grobogan, Kabupaten Tanpa Garis Lautan.

Duh, semoga nggak bakal terjadi ya, Millens! (Det/IB09/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024