Inibaru.id – Putranda Ekky Prananda tampak serius dengan pekerjaannya saat saya berkunjung ke rumahnya di Pudakpayung, Kota Semarang, belum lama ini. Setelah mempersilakan saya duduk, dia kembali bersila di depan sebuah meja kecil berbentuk bulat.
"Sebentar ya, Mas!" ujar Ekky, sapaan akrab pengrajin wayang tersebut.
Sejurus kemudian, kedua matanya sudah kembali tertuju pada pola wayang di selembar kulit kerbau di atas pandukan, semacam talenan untuk landasan menatah. Tangan kanan Ekky menggenggam ganden, semacam palu kayu besar, sedangkan yang kiri memegang tatah berbentuk bilah besi berujung runcing.
Sebetulnya, saya nggak menyangka bakal bertemu pengrajin wayang semuda ini. Umurnya baru 23 tahun, tapi dia tampak sudah lihai menatah wayang. Terang saja, berdasarkan pengakuan Ekky, dirinya sudah membuat wayang sejak belasan tahun silam.
Kesukaan Ekky pada dunia pewayangan bahkan sudah dimulai sejak balita. Dia yang kerap diajak menonton pergelaran wayang oleh kakek dan bapaknya mulai mengoleksi wayang setelahnya. Namun, lantaran harganya mahal, dia pun memutuskan membuat wayang sendiri saat duduk di kelas 4 SD.
“Awal-awal (membuat), bikin model kreasi, bahan wayang, sandangan (pakaian dan atribut), dan gagrak (kekhasan badan)," ungkap lelaki yang masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Semarang itu. "Sejak SMA baru seusai pakem dalang untuk pergelaran.”
Kekuatan Media Sosial
Menyukai dunia pewayangan pada era modern seperti sekarang ini tentu menjadi sebuah anomali. Kendati ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, kesenian yang konon sudah ada sejak abad ke-4 tersebut bukanlah pergelaran populer. Nggak banyak lagi yang menanggap wayang sekarang.
Namun, rupanya hal itu nggak menyurutkan minat Ekky untuk menggemari wayang kulit, lalu mulai membuat sendiri, hingga akhirnya memutuskan menjual dan menerima pesanan untuk hasil karyanya tersebut.
Kendati yang dia jual adalah produk "klasik" yang nggak populer bagi masyarakat kiwari, bukan berarti cara berjualannya juga konvensional. Ekky justru menggunakan media sosial seperti Instagram dan Facebook sebagai media promosi utamanya.
“Pembeli kebanyakan malah tahu saya dari Facebook, Instagram, dan Youtube. Kadang ada yang tahu setelah baca berita tentang saya," kelakar lelaki berkumis tipis ini. "Oya, getuk tular (promosi dari mulut ke mulut) juga jadi andalan."
Wayang Ekky dijual mulai Rp 750 ribu hingga puluhan juta rupiah, tergantung detail dan tingkat kesulitannya, ukuran, dan berapa buah wayang yang dipesan.
“Paling murah wayang versi perempuan yang memakai emas foil atau yang sering dibilang grenjeng. Kalau wayang perempuan warna emas asli (food grade) kurang lebih Rp 2 jutaan,” bebernya.
Sementara, untuk wayang laki-laki dengan emas asli, Ekky membanderolnya dengan harga lebih dari Rp 2 juta, sedangkan yang menggunakan foil dimahar Rp 1,5 juta. Harga ini jauh berbeda kalau wayang itu untuk pajangan, biasanya sepaket wayang berukuran besar dalam figura, yang bisa mencapai puluhan juta rupiah.
“Untuk dalang dan kolektor, saya buatkan yang standar pergelaran, pakai kulit. Berbeda dengan untuk instansi atau cinderamata yang biasanya saya buatkan pakai kardus karena cuma untuk pajangan,” terangnya.
Ekky mengaku, dirinya lebih suka kalau wayangnya dibeli dalang karena berarti buah karyanya tersebut bakal benar-benar dipakai, nggak sekadar dipajang. Namun dia juga nggak akan menolak kalau ada kolektor yang membeli, karena baginya, mereka akan melestarikan budaya juga.
Selama menekuni profesi sebagai pengrajin wayang, Ekky mengungkapkan, para pelanggannya nggak hanya datang dari pasar lokal. Dia juga sering melayani pembelin dari luar pulau dan mancanegara.
“Untuk luar Jawa, paling jauh Palembang, karena di sana banyak dalang juga. Kalau ke luar negeri ada banyak, mulai Jerman, Korea, hingga Meksiko,” tuturnya semringah, lalu tertawa senang sembari merapikan peralatan tatah di hadapannya yang mungkin berjumlah sekitar 20-an buah.
Hm, obrolan panjang yang menyenangkan. Saya sejatinya bisa lebih lama di sana, sayangnya nggak memungkinkan. Menjelang pamitan, Ekky masih sempat bercerita bahwa suatu ketika ada dalang asli Semarang yang datang ke tempatnya dan mengatakan bahwa dia bersyukur di Semarang ada pengrajin wayang.
"Sebelum bertemu saya, dalang itu mengaku membeli wayang di sekitar Wonogiri, Solo, dan Sukoharjo," tandasnya.
Dari sorot mata Ekky, saya bisa melihat betapa bangganya lelaki muda itu kini. Entah sudah berapa banyak yang mencibirnya, tapi agaknya dia sekarang bisa membusungkan dada atas pencapaian yang didapatkannya ini. Selamat, Ekky! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)