Inibaru.id – Nggak sulit menemukan emping melinjo di Kabupaten Batang, khususnya saat kamu bertandang ke Kecamatan Bawang atau Limpung yang berada di sisi timur kota. Dari yang borongan hingga eceran, dari yang kecil hingga lebar, dan dari yang mentah hingga matang, tersedia di sini.
Memang sudah lama dua kecamatan itu dikenal sebagai sentra pembuatan emping di Batang, dengan pasar lokal, bahkan meluas hingga Jawa Tengah dan kawasan lain yang memerlukan ekspedisi dengan penanganan khusus untuk mengirimnya.
Emping melinjo banyak dijual di pasar tradisional. Maka, menjadi hal yang lazim berpapasan dengan pemotor dengan keranjang berisi emping di kiri-kanannya di Bawang atau Limpung. Menjadi hal yang lazim pula melihat orang menjemur kepingan emping berkilo-kilogram di pelataran rumah mereka pada siang hari.
Di kawasan tersebut, sebagian masyarakat memang menggantungkan hidupnya sebagai pembuat emping. Ada yang menjual, baik yang matang maupun mentah; ada yang memproduksi. Namun, mayoritas dari mereka adalah buruh perajin emping.
Yap, kamu nggak salah baca! Mereka adalah buruh; biasanya para perempuan, ibu-ibu yang tinggal di pelosok desa. Disebut buruh karena mereka menghasilkan emping berdasarkan melinjo yang disuplai oleh pengusaha, lalu dikembalikan jika sudah jadi sesuai waktu yang telah disepakati.
Yang para buruh dapatkan ini bukanlah laba penjualan, tapi upah yang nilainya cukup fluktuatif. Saat harga emping anjlok, mereka diupah Rp6.000 per kilogram, tapi bisa naik hingga Rp12.000 per kilogram saat harganya melonjak tinggi.
Pendapatan Kecil, tapi Fleksibel
Inilah yang dikatakan Zumrotul, salah seorang perajin emping dari Dukuh Lempuyang, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang. Terakhir produksi, dia bisa menghasilkan 11 kilogram emping dalam empat hari, yang dihasilkan dari 20 kilogram melinjo mentah.
Meski hasilnya kecil, dia tetap bertahan melakoninya karena pekerjaan tersebut cukup fleksibel untuknya yang sehari-hari masih disibukkan oleh keharusan mengurus kebutuhan rumah tangga. Menurutnya, cepat atau lambatnya pengerjaan emping tergantung pada para perajinnya.
"Deadline kami tentukan sendiri. Jadi, semakin cepat selesai, semakin cepat dapat uang. Namun, kadang pengerjaan jadi lebih lama karena disambi mengurus anak," ucapnya di kediamannya, belum lama ini.
Zumrotul menerangkan, setiap harinya dia mendapatkan setoran melinjo dari produsen emping. Melinjo yang disetorkan sudah dalam keadaan kering dan dipisahkan dari kulitnya. Kemudian, saat garapan selesai, penyetor akan membawanya kembali untuk dijual atau disalurkan ke pusat pembelanjaan.
“Berapa banyak melinjo yang akan saya garap juga nggak ada paksaan. Fleksibel. Terserah kami,” jelas ibu dua anak yang mengatakan sudah 10 tahun melakoni pekerjaan sebagai buruh emping tersebut.
Dia mengaku sudah mulai membuat emping sejak duduk di bangku SD. Waktu itu hasilnya untuk tambahan uang saku. Kemampuan membuat emping didapatkannya setelah melihat langsung proses pembuatan emping yang dilakukan oleh tetangganya.
"Saya belajar otodidak. Awal-awal numbuk (melinjo), pegal sekali tangannya. Kulit panas dan napas sesak karena asap. Tapi, habis itu biasa. Sekarang saya bahkan lebih terampil dan lihai menumbuk melinjo (dibanding tetangganya)," kelakar perempuan murah senyum itu.
Hanya Penghasilan Tambahan
Dengan upah yang "semenjana", menurut Zumrotul, menjadikan upah sebagai buruh pembuatan emping sebagai pendapatan utama rumah tangga masih jauh panggang dari api. Harga emping yang fluktuatif membuat dirinya nggak bisa mengandalkan penghasilannya itu.
Sebagai gambaran, saat harga sedang bagus, yakni Rp12 ribu per kilogram, dia bisa mendapatkan upah sebesar Rp20 ribu per hari. Hasil ini lumayan, karena berarti dalam lima hari dia bisa mengantongi pendapatan hingga Rp100 ribu.
"Sebaliknya, saat harga anjlok (Rp6.000 per kilogram), seminggu paling-paling di kisaran Rp50-60 ribuan. Kalau harga bagus, senang. Tapi kalau begini (harga rendah), wah, sedih banget," paparnya.
Karena alasan inilah, dia menambahkan, buruh emping lebih banyak digeluti para ibu rumah tangga di kampung halamannya. Menurutnya, pekerjaan itu belum memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seisi rumah, jadi sifatnya hanya sebagai penghasilan tambahan.
"Buruh emping lebih banyak dikerjakan ibu rumah tangga untuk membantu suami yang juga mencari nafkah," sebutnya.
Namun begitu, Zumrotul mengaku tetap merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk melakoni aktivitas ini. Sebagai orang desa, dia mengaku hanya dengan menjadi buruh emping ini dia bisa mendapatkan uang tambahan.
"Hasil dari jerih payah saya ini juga dipakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di rumah," tandasnya lirih; matanya tertuju pada hamparan emping basah yang tengah dijemur di depan rumahnya, tapi hatinya terbang entah ke mana.
Seperti rasa emping yang gurih dengan sedikit getir di lidah, begitulah nasib para perajin emping di Batang. Menjadi sentra produksi emping nggak lantas membuat orang-orang di garda terdepannya kaya-raya. Meski menikmati hasil jerih payah, hidup mereka tetaplah semenjana. (Sekarwati/E10)
