Inibaru.id - Perkembangan Islam di Tanah Jawa nggak lepas dari peran rebana sebagai alat musik yang dibawa langsung dari Timur Tengah. Hingga kini, masyarakat Jawa nggak hanya menjadikan alat perkusi tabuh itu sebagai alat musik, tapi juga simbol dakwah Islam.
Sebagai kota yang menjadi pintu masuk penyebaran Islam di Jawa, masyarakat di Kabupaten Demak juga begitu dekat dengan alat musik tersebut. Bahkan, di tengah banyaknya alat musik modern yang berkembang saat ini, para pengrajin rebana di kota ini masih bertahan hingga sekarang.
Industri kerajinan rebana di Demak memang termasuk salah satu yang paling hidup saat ini. Kualitasnya pun nggak main-main. Sejak diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah, rebana terus menjadi bagian dari tradisi budaya yang mengakar bagi orang Demak.
Rebana biasa dimainkan untuk mengiringi lantunan selawat dan syair keislaman, yang diajarkan semasa Walisongo menyebarkan agama di kota ini. Konon, kala itu alunan rebana yang merdu dan ritmis membuat ajaran Islam lebih mudah diterima masyarakat.
Menjaga Warisan Budaya
Hadi, salah seorang pengrajin rebana dari Demak mengatakan, ada satu alasan kenapa dia dan banyak pengrajin di Demak masih bertahan dengan pembuatan alat musik berbahan dasar dari kayu dan kulit binatang tersebut sampai sekarang. Salah satunya karena menjaga warisan budaya Islam di Kota Wali tersebut.
“Kami membuat rebana bukan hanya untuk dijual, tapi juga menjaga warisan budaya Islam agar tetap hidup di tengah masyarakat,” ujar lelaki yang mengaku telah menekuni profesi sebagai pengrajin rebana selama lebih dari 20 tahun ini.
Keberadaan para pengrajin rebana di Demak, lanjut Hadi, menunjukkan bagaimana masyarakat setempat tetap berkomitmen untuk melestarikan budaya yang digunakan Sunan Kalijaga dalam syiar Islam.
"Pusat kerajinan rebana di Demak bisa ditemukan di beberapa kecamatan, salah satunya di Kecamatan Gajah. Usaha ini kebanyakan merupakan bisnis turun-temurun dan masih dikerjakan dengan cara tradisional," tuturnya kepada Inibaru.id, belum lama ini.
Dibuat dengan Cara Tradisional
Pembuatan rebana di Demak, khususnya di Kecamatan Gajah, kebanyakan memang masih dikerjakan secara tradisional, dimulai dari pemilihan bahan kayu, pembentukan rangka, hingga pemasangan kulit sebagai membran suara.
Hadi mengungkapkan, bahan utama yang digunakan adalah kayu nangka, mahoni, atau jati, yang dikenal kuat dan tahan lama. Sementara, untuk membran rebana, mereka biasanya memakai kulit kambing yang telah diproses khusus untuk menghasilkan suara yang nyaring dan khas.
"Setiap tahap pengerjaan memerlukan ketelitian tinggi agar rebana yang dihasilkan memiliki kualitas terbaik," jelasnya.
Kualitas yang baik membuat rebana-rebana buatan orang Demak dikenal hingga mancanegara. Hadi mengatakan, nggak sedikit pengurus pesantren, masjid, dan komunitas seni Islam yang mempercayakan kebutuhan rebana mereka kepada pengrajin asal Demak.
"Tidak hanya di Indonesia, kami juga menjangkau pasar internasional. Banyak produk rebana demak yang dikirim ke negara lain," sebutnya.
Menjadi Sumber Penghasilan Masyarakat
Industri kerajinan rebana di Demak nggak hanya dinikmati secara perorangan, tapi juga menjangkau masyarakat yang jauh lebih luas. Nggak sedikit warga yang hingga kini masih menggantungkan hidup pada bisnis tersebut, mulai dari menjadi pengrajin, pengecat, hingga penjual.
Dengan permintaan yang terus berdatangan, keberadaan kerajinan rebana di Demak nggak bisa dipandang sebelah mata. Rudi, salah seorang pedagang rebana asal Demak bahkan meyakini, rebana adalah salah satu sektor penting yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat.
“Setiap bulan kami menerima pesanan dari berbagai kota, bahkan ada yang dari Malaysia dan Brunei. Ini membuktikan bahwa rebana Demak masih diminati banyak orang,” kata Rudi.
"Jadi, selain membantu perekonomian warga, rebana adalah produk unggulan yang bisa bersaing di pasar global," tambahnya.
Tantangan dan Inovasi Bisnis Rebana
Berkembangnya musik modern dan digital serta penolakan sebagian generasi muda terhadap musik tradisional yang dianggap kuno telah membuat keberadaan alat musik tradisional seperti rebana tersisih. Hal ini diakui Rudi telah berimbas pada penurunan keuntungan bagi dirinya dan kawan-kawan.
"Generasi muda cenderung lebih tertarik pada alat musik elektronik dibandingkan alat musik tradisional seperti rebana ini. Solusinya, mau tidak mau kami harus terus berinovasi dan melakukan penyesuaian," kata dia.
Untuk menjaga eksistensi sekaligus membuat para anak muda tetap tertarik pada alat musik ini, pengrajin di Demak berinovasi dengan membuat desain rebana menjadi lebih menarik, tentu saja tanpa meninggalkan nilai-nilai kekhasannya.
"Kami bikin desain rebana menjadi lebih menarik agar berterima untuk generasi muda. Harapan kami, upaya tersebut akan membuat rebana menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, baik dalam seni, dakwah, maupun budaya," tandasnya.
Di balik pembuatan alat musik tradisional rebana ini, ternyata terkandung nilai-nilai yang tetap dipegang teguh para pengrajinnya. Dengan sepenuh hati, mereka mencoba mempertahankan warisan leluhur sembari turut serta dalam menjaga eksistensi seni Islam di tengah masyarakat modern ini. (Alya Himmatul Aliyah/E10)