BerandaKulinary
Rabu, 13 Feb 2018 05:42

Kue Apem, dari Simbol Kebersamaan sampai Sarana Penolak Balak

Kue Apem (budaya-indonesia.org)

Nggak sekadar kue khas Indonesia, kue tradisional ini punya banyak filosofi. Si putih yang kenyal dan legit ini masih eksis di berbagai daerah.

Inibaru.id – Siapa yang nggak kenal kue khas Jawa ini? Kue yang agak mirip dengan dorayaki ini asli Indonesia, lo. Namanya apam. Ya, kue apam atau yang lebih sering disebut apem adalah makanan tradisional yang terbuat dari tepung beras dan santan berbentuk seperti mangkok.

Banyak sekali variasi dari kue apem ini sehingga setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Ada yang menggunakan saus dari gula jawa, ada yang menggunakan tambahan durian, ada juga yang menggunakan kelapa parut dan gula pasir. Wah, banyak sekali ya….

Salah satunya di daerah Cirebon, apem biasanya dimakan dengan tempe goreng atau oncom, yang dibuat berlapis seperti burger. Tempe goreng atau oncom diletakkan di tengah, diapit dengan dua lembar apem kemudian disantap dengan cabe rawit segar. Hmm, enak!

Nggak hanya beragam variasi penyajiannya aja lo, Millens, tapi pemaknaannya juga berbeda. Di Cirebon, kue apem dimaknai sebagai kue kebersamaan. Pasalnya, masyarakat Cirebon membuat kue ini pada bulan Sapar (Zulqidah), yaitu bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Kue tersebut kemudian dibagikan kepada para tetangga, menunjukkan bahwa masyarakat saling membantu dengan sarana kue apem tersebut. Selain itu, kue putih agak kecokelakatan dan cukup kenyal ini juga dipercaya penduduk sekitar sebagai penolak bala.

Baca juga:
Kepincut Kesedapan Garang Asem Kudus
Ketika Kerang Kecil Bertemu Lontong di Jawa Timur

Dikutip dari brilio.net ( 9/4/2015) masyarakat Jawa biasanya membuat apem saat menjelang bulan Puasa. Inilah yang disebut tradisi megengan. Megengan berasal dari kata Jawa “megeng” yang berarti menahan diri, bisa diartikan sebagai puasa itu sendiri. Nah, kue apem ini dibuat untuk dibawa ke masjid. Setelahdidoakan, kue apem dibagi kepada para tetangga sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap rezeki yang sudah diperoleh.

Variasi lain dari kue apem adalah kue apem khas Betawi yang manis rasanya dan memiliki bagian tepi yang renyah. Di Betawi, kue apem ini umumnya berwarna cokelat dikarenakan ada campuran gula merahnya. Kue apem Betawi ini disajikan dengan menggunakan parutan kelapa.

Eits, ngomong-ngomong kue tradisional ini punya sejarah nggak sih? Pastinya punya. Seperti yang ditulis dalam budaya-indonesia.org (25/9/2014), ada legenda yang menuturkan bahwa kue apem ini bermula pada zaman Sunan Kalijaga. Waktu itu Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, baru pulang ibadah haji dan melihat penduduk Desa Jatinom, Klaten, kelaparan. Kemudian dia membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir “Yaa Qawiyyu” yang artinya Allah Mahakuat.

Para penduduk itu pun menjadi kenyang. Hal inilah yang membuat penduduk setempat sampai saat ini masih terus menghidupkan tradisi upacara Ya Qawiyyu setiap bulan Sapar. Biasanya apem dalam acara ini disusun menggunung hingga beratnya mencapai berton-ton agar penduduk di sana bisa kebagian semua.

Baca juga:
Brekecek, Kepala Ikan Berbumbu dari Cilacap
Sirup Kawista, Si Manis dari Rembang

Oh ya, ada dua pendapat yang melatarbelakangi sejarah kue apem, Millens. Sebagian pendapat menyebutkan kue ini datang dari India. Sebagian lagi bilang, apem berasal dari Arab. Disebut datang dari India, sebab memperlihatkan adanya kesamaan nama pada kue ini. Di Indonesia disebut ''apem" sedangkan di India disebut "appam" . Di India, kue apem juga terbuat dari tepung beras dan santan, namun beberapa variasi menggunakan susu sapi sebagai pengganti santan. Di India kue apem biasa disantap dengan kari ayam atau ikan atau menggunakan saus bumbu pedas yang mirip seperti sambal.

Okelah, entah itu dari India atau Arab, kue ini sudah menjadi salah satu khazanah kuliner kita. (SR/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024