Inibaru.id - Kalau kamu merasa hidup di Jakarta itu rasanya lebih sering di jalan daripada di rumah, perasaan itu ternyata ada datanya. Berdasarkan catatan Kementerian Perhubungan, warga Jakarta rata-rata menghabiskan 108 jam dalam setahun hanya untuk terjebak kemacetan.
Kalau ditarik ke satuan yang lebih kebayang, itu setara dengan sekitar 4,5 hari penuh yang habis di balik setir, di atas motor, atau duduk diam di angkutan umum sambil menatap lampu rem di depan. Lama banget, kan?
Angka ini muncul bukan tanpa sebab. Sekitar 66,89% warga Jakarta masih mengandalkan kendaraan pribadi untuk beraktivitas sehari-hari. Dari jumlah itu, mobil pribadi menyumbang 43,71%, sementara sepeda motor 23,18%. Bandingkan dengan pengguna transportasi umum yang baru menyentuh 23,43% dari total penduduk, terlihat jelas siapa yang paling memenuhi jalanan ibu kota.
Kondisi ini membuat tingkat kemacetan Jakarta berada di kisaran 43%, sebuah angka yang menjelaskan kenapa perjalanan 10 kilometer bisa terasa seperti perjalanan antar-kota di daerah-daerah lain. Ironisnya, pertumbuhan kendaraan terus melaju, sementara pertumbuhan jalan nyaris jalan di tempat. Alhasil, macet jadi rutinitas, bukan lagi kejadian khusus.
Jakarta bahkan tercatat lebih macet dibanding Hanoi, ibu kota Vietnam. Padahal, persentase penggunaan kendaraan pribadi di Hanoi hampir sama. Bedanya ada di konteks kota. Jakarta punya kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi, dengan ruang kota yang relatif lebih sempit. Ditambah lagi, persentase pejalan kaki di Jakarta jauh tertinggal dibanding Hanoi, yang warganya masih cukup akrab dengan transportasi umum dan berjalan kaki untuk kebutuhan mobilitas.
Tak heran kalau Jakarta kemudian masuk daftar kota termacet dunia. Pada 2024, sebuah laporan dari Global Traffic Scoreboard menempatkan Jakarta di peringkat ketujuh kota termacet, naik dari peringkat sepuluh tahun sebelumnya. Artinya, masalah ini bukan cuma belum terurus, tapi justru semakin serius.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Salah satu strategi utama yang terus didorong adalah mengalihkan pergerakan warga ke transportasi umum. Targetnya, jumlah penumpang transportasi umum bisa naik hingga sekitar 4,5 juta orang per hari. Secara hitung-hitungan, tambahan dua juta pengguna transportasi umum saja bisa memindahkan jutaan perjalanan harian dari jalan raya.
"Penambahan penumpang transportasi umum sampai 2 juta orang sudah bisa mengeluarkan 20 juta perjalanan dari jalanan," ucap Dirjen Integrasi Transportsai dan Multimoda Risal Wasal sebagaimaan dinukil dari Katadata, Kamis (31/7/2025).
Masalahnya, mengubah kebiasaan warga kota bukan perkara instan. Transportasi umum harus nyaman, terintegrasi, dan benar-benar bisa diandalkan. Selama naik kendaraan pribadi masih terasa “lebih praktis”, kemacetan akan terus jadi bagian dari identitas Jakarta.
Pada akhirnya, 108 jam atau 4,5 hari yang hilang setiap tahun bukan cuma soal waktu. Itu adalah energi, produktivitas, dan kesehatan mental yang ikut terkuras. Macet Jakarta bukan sekadar keluhan harian, tapi cermin dari pekerjaan rumah besar kota ini, yaitu bagaimana membuat pergerakan dari satu titik ke titik lain tidak lagi terasa seperti perjuangan. (Arie Widodo/E07)
