Inibaru.id - Keberadaan tambak udang di Pulau Karimunjawa bak pisau bermata dua. Di satu sisi dapat menggerakan roda ekonomi, disisi lain adanya tambak udang bisa mengancam ekosistem laut jika pengelolaan limbahnya tidak ramah lingkungan.
Menurut Pakar Akuakultur Universitas Diponegoro (Undip) Sri Rejeki, dampak pendirian tambak udang di pesisir memang berpotensi merusak ekosistem serta kehidupan masyarakat pesisir.
Perempuan yang akrab disapa Sri itu melanjutkan dampak buruk pembuangan limbah tambak udang ke laut diantaranya dapat menghambat pertumbuhan karang, rumput laut, kerang dan biota lainnya. Sehingga, dikhawatirkan secara perlahan akan merusakan ekosistem laut.
"Sekarang sudah kelihatan dampak buruknya. Dari bau, ombaknya kelihatan hitam pekat seperti comberan. Wajar jika masyarakat banyak yang protes," ucap Sri saat ditemui Inibaru.id di kantornya.
Selain itu, dia mengkhawatirkan pengambilan air tanah secara berlebihan. Karena sistem pengairan tambak udang intensif membutuhkan banyak air tanah sebagai campuran air laut guna menurunkan kadar garam.
"Dampak pengambilan air tanah juga bahaya, bisa menurunkan permukaan tanah. Masyarakat bisa kebanjiran seperti di Dukuh Timbulsloko dan deritanya tak kunjung padam," ucapnya.
Solusi Ramah Lingkungan
Profesor yang fokus meneliti di bidang Budidaya Berkelanjutan ini kemudian membeberkan pengelolaan limbah tambak udang ramah lingkungan. Caranya dengan menggunakan sistem integrated multitrofic aquaculture.
"Jadi limbahnya nanti masuk ke petak sedimentasi dan biofilter. Sistem ini juga bisa ditanami rumput laut jenis gracilaria, ikan bandeng, nila maupun kekerangan," paparnya.
Jika ingin menggunakan sistem ini, para petambak harus merelakan lahan untuk tempat penampungan tandon yang ukurannya besar. Di dalam tandon tersebut nantinya ikan-ikan yang akan menyaring cairan limbah.
"Ini akan menghemat air tawar yang akan dipakai dan dampak pencemar sudah dimininalisir oleh biota ekstraktif yang ada di sini. Jadi masuk laut sudah relatif bersih. Tapi ini belum dimanfaatkan," tuturnya.
Soal biaya, pengelolaan limbah ramah lingkungan menurut Sri tidak terlalu mahal. Apalagi hasil ikan, rumput laut, kerang yang ditanam disana bisa dijual.
"Murah sekali (pembuatannya) dan wajib hukumnya dalam budidaya di pantai menyediakan satu lahan untuk tandon," ucapnya. "Tapi banyak yang menyepelekan dan menganggap itu tidak bermanfaat".
Namun saran Sri, sebaiknya Karimunjawa tetap dijadikan daerah pariwisata berbasis lingkungan. Dia khawatir, manusia semakin tidak terkendali jika tambak udang terus-menerus beroperasi.
"Luas tandon harus sama dengan lahan tambak. Kalau (limbah) langsung dibuang ke laut, Karimunjawa akan habis dan untuk pulihnya tidak akan mudah," tegasnya.
Meski dampak buruk sudah terlihat di sekitar Karimunjawa, tapi belum terlambat bagi pengusaha tambak untuk bisa memperbaiki sistem pembuangan limbah ke lautan. Jangan sampai terlambat penanganan sehingga Karimunjawa bernasib sama dengan Dukuh Timbulsloko, Demak. (Fitroh Nurikhsan/E10)