BerandaHits
Selasa, 12 Mar 2018 15:05

Perlukah Memandang Dangdut dengan Sebelah Mata?

Inul Daratista sedang bernyanyi sambil berinteraksi dengan penonton. (Militan.co.id)

Perpaduan musik Arab, Melayu, dan India menghasilkan musik dangdut yang diakui asli Indonesia. Namun, sebagian masyarakat masih belum bisa menikmati musik ini dengan menganggapnya norak atau "kampungan". Benarkah seburuk itu?

Inibaru.id – Dangdut is a music of my country, my country oh my country kata Project Pop dalam lagunya yang berjudul sama. Kalimat itu seolah diamini masyarakat dengan maraknya dangdut saat ini. Berbagai jenis dangdut hadir dan memanjakan penikmatnya dengan irama, ketukan gendang, bahkan goyangan penyanyinya.

Saat ini dangdut berkembang menjadi beragam jenis. Dangdut koplo merupakan salah satu yang sekarang sedang digandrungi masyarakat. Sejumlah orang menyukai dangdut koplo ini karena iramanya lebih cepat dari dangdut klasik.

“Aku lebih suka musik dangdut sekarang karena musiknya sih. Lebih cepat gitu jadi bisa memberikan semangat,” ujar Tugianto, mahasiswa asal Purbalingga.

Hal senada juga diungkapkan Renita Widiastuti. Gadis yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Semarang itu mengaku menyukai dangdut jenis koplo yang sekarang sedang marak.

“Wah, kalau dangdut ya aku suka tapi lebih suka dangdut yang sekarang daripada dulu soalnya liriknya kayak pas gitu sama aku,” tutur Renita, kemudian tersenyum.

Kendati sejumlah orang menyukai dangdut bahkan menganggap dangdut adalah musik asli Indonesia, nggak sedikit orang yang memandang sebelah mata musik yang mulai masyhur pada era 1970-an ini. Sebagian orang menganggap dangdut sebagai musik “rakyat” yang hanya dinikmati masyarakat kalangan bawah.

Baca juga:
Menakar Posisi Dangdut di Indonesia
Geliat Dangdut Koplo di Tangan Via Vallen dan Nella Kharisma

“Iya, dulu orang-orang menganggap dangdut itu norak, jadi banyak yang nggak suka,” kata Tsalisa, warga Purbalingga membenarkan anggapan itu.

Pandangan miring tentang dangdut ini sudah ada sejak dangdut diciptakan Rhoma Irama. Bahkan sebutan “dangdut” merupakan sebuah ejekan.

Pengamat musik dangdut, Mohammad Muttaqin mengatakan, istilah dangdut diciptakan Billy Chung, wartawan majalah Aktuil untuk menyebutkan perpaduan musik Melayu, India, dan Arab yang diringi dengan tabla. Sebutan itu merupakan onomathopea dari suara kendang yang berbunyi “dang” dan “dut”.

“Dangdut itu dulunya ejekan Billy Chung terhadap musik baru yang dibawakan Rhoma Irama saat itu,” kata Muttaqin.

Namun, justru istilah inilah yang kemudian berkembang dan umum dipakai masyarakat. Anggapan dangdut sebagai musik rakyat, menurut Muttaqin, hanyalah persepsi masyarakat belaka.

“Selama ini masyarakat saja yang mengklasifikasikan dangdut sebagai musik rakyat. Dangdut diciptakan untuk semua kalangan, nggak hanya untuk masyarakat kelas bawah,” tegas lelaki yang berprofesi sebagai dosen Jurusan Musik Universitas Negeri Semarang ini.

Dangdut yang dahulu dinyanyikan dari kampung ke kampung disinyalir menjadi alasan masyarakat menyebut dangdut sebagai musik rakyat. Kemasan dangdut juga dinilai berbeda dengan musik lain seperti Koes Plus yang juga tenar waktu itu.

Baca juga:
Tren Joget Koplo Ala Temon Holic
Ketika Penggemar Dua K-Pop Bersaing di iHeartRadio Music Awards

Persepsi dangdut yang dinilai "kampungan" itu kini mulai memudar. Seiring berjalannya waktu, musik dangdut beranjak merasuk ke semua kalangan. Pandangan tentang dangdut pun berubah. Ini terbukti dari menjamurnya ajang-ajang pencarian bakat penyanyi dangdut, yang membuat industri dangdut kembali bergelora di tengah persaingan dengan genre musik lainnya.

Kepopuleran industri dangdut saat ini membuktikan bahwa dangdut nggak hanya merupakan musik pinggiran. Musik dangdut pun mendapat tempat setara dengan genre lain seperti pop dan jazz.

Jadi, nggak usah takut dibilang norak karena menyukai dangdut ya, Millens. (IF/GIL)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024