BerandaHits
Rabu, 30 Des 2025 18:10

Screen Time Terlalu Dini Bisa Pengaruhi Respons Anak terhadap Rangsangan Fisik

Ilustrasi: Screen time terlalu dini bisa memengaruhi respons anak terhadap rangsangan fisik. (Getty Images via Parents)

Screen time terlalu dini, yakni sebelum usia dua tahun, bisa memengaruhi respons anak terhadap rangsangan fisik seperti suara, sentuhan, atau tekstur. Dampaknya bisa jadi terlihat dari caranya pilih-pilih makanan, tantrum di muka umum, atau mengigit-gigit kerah baju.

Inibaru.id - Televisi atau video kerap menjadi solusi cepat untuk menenangkan bayi dan balita. Namun, riset terbaru mengingatkan bahwa paparan layar terlalu dini, khususnya sebelum usia dua tahun, bisa berdampak pada cara anak memproses rangsangan di sekitarnya.

Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of the American Medical Association (JAMA) menemukan bahwa screen time sebelum usia dua tahun berkaitan dengan risiko pemrosesan sensorik atipikal (atypical sensory processing).

Istilah tersebut merujuk pada kondisi ketika respons anak terhadap rangsangan fisik seperti suara, sentuhan, atau tekstur, berbeda dari respons anak-anak seusianya.

Penelitian yang melibatkan 1.471 anak ini menunjukkan, bayi yang sudah terpapar layar (screen time) sebelum usia 12 bulan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mengalami perbedaan pemrosesan sensorik dibandingkan anak yang nggak terpapar layar di usia tersebut.

Perlu diketahui, screen time dalam penelitian ini tidaklah merujuk pada layar gawai seperti ponsel atau tablet, tapi televisi dan video.

Peneliti juga mencatat bahwa setelah anak berusia 18 bulan, setiap tambahan satu jam screen time per hari meningkatkan risiko perbedaan pemrosesan sensorik hingga 20 persen.

“Paparan media digital mungkin menjadi salah satu faktor risiko potensial dalam perkembangan profil sensorik yang atipikal,” tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut.

Apa itu Pemrosesan Sensorik Atipikal?

Perbedaan dalam memproses rangsangan sensorik kerap dikaitkan dengan kondisi neurologis yang dikenal sebagai gangguan pemrosesan sensorik alias sensory processing disorder (SPD). Mengutip Verywell Health, SPD adalah kondisi yang “memengaruhi cara otak memproses masukan sensorik”.

“Orang dengan SPD bisa menjadi lebih sensitif atau justru kurang sensitif terhadap suara, bau, tekstur, dan rangsangan lain dibandingkan kebanyakan orang,” tulisnya.

Pada anak-anak, kondisi ini dapat tampak dalam bentuk tantrum di tempat umum, pilih-pilih makanan, merasa terganggu dengan kaus kaki yang dianggap nggak nyaman, atau kebiasaan menggigit-gigit kerah baju.

Meski demikian, SPD bukan diagnosis medis yang berdiri sendiri. Kondisi ini sering muncul bersamaan dengan gangguan lain seperti ADHD atau spektrum autisme.

Dr Karen Heffler, penulis utama studi tersebut, mengatakan temuannya penting untuk membuka pemahaman lebih luas tentang faktor risiko perkembangan anak.

“Saya sangat tertarik pada faktor-faktor potensial yang dapat membantu keluarga lain yang anaknya didiagnosis autisme,” ujar Heffler, dikutip dari ABC News beberapa waktu lalu.

Dampak Lain Screen Time

Ilustrasi: Nggak hanya pemrosesan sensorik, screen time terlalu dini juga memengaruhi kemampuan anak mengatur emosi. (Shutterstock)

Pemrosesan sensorik bukanlah satu-satunya aspek perkembangan yang terdampak oleh screen time pada usia dini. Sejumlah penelitian lain telah menunjukkan bahwa paparan layar pada anak usia 3-5 tahun bisa memengaruhi kemampuan mereka dalam mengatur emosi.

Studi lain juga menemukan kaitan antara screen time dan perkembangan otak anak. Karena alasan ini, sejumlah organisasi profesi memberikan batasan ketat.

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP) merekomendasikan, nggak ada screen time sama sekali untuk anak di bahwa usia 18 bulan, kecuali untuk panggilan video (face-time) dengan pendampingan orang dewasa.

Setelah usia tersebut, AACAP menyarankan agar anak hanya menonton program edukatif hingga berusia dua tahun, tentu saja dengan pendampingan orang tua. Kemudian, screen time non-edukatif sebaiknya tetap dibatasi sekitar satu jam per hari pada hari kerja dan maksimal tiga jam pada akhir pekan.

Masih Perlu Riset Lanjutan

Meski temuan ini menambah bukti tentang pentingnya membatasi paparan layar pada anak usia dini, para peneliti menekankan bahwa riset lanjutan masih diperlukan untuk melengkapi hasil temuan tersebut.

“Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami hubungan antara screen time dan luaran perkembangan sensorik serta perilaku secara spesifik,” tulis peneliti dalam kesimpulan studi tersebut.

Penelitian ini, lanjutnya, perlu pula dilengkapi dengan riset lain seperti, apakah meminimalisasi paparan layar sejak awal kehidupan memungkinkan untuk memperbaiki hasil perkembangan sensorik di kemudian hari?

Apapun itu, temuan tersebut seharusnya bisa menjadi pengingat bagi orang tua bahwa screen time bisa sangat membahayakan untuk balita. Meski membuat kita bisa melakukan lebih banyak aktivitas, membiarkan anak menonton tayangan di televisi bukanlah tindakan yang bijak.

Alih-alih memberikan gawai untuk membuat anak tenang, aktivitas seperti interaksi langsung, permainan fisik, dan stimulasi alami, tetap memegang peran penting dalam tumbuh kembang anak, khususnya untuk tahun-tahun awal kehidupannya. Sepakat, Gez? (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Karl Bushby yang Masih Berjalan Kaki Keliling Dunia Sejak 1998

16 Des 2025

Waspada Bencana Alam saat Libur Nataru

16 Des 2025

Persiapan Libur Nataru, Bandara Ahmad Yani Semarang Punya 2 Penerbangan Baru

16 Des 2025

Peluang Event Lari Semarang 10K Menyamai Level Borobudur Marathon

16 Des 2025

Viral Dugaan Harimau Semarang Zoo Dijual, Begini Kata Pengelola!

16 Des 2025

Kondisi Psikologis Korban Acap Terabaikan, SCU Semarang Kirim Tim Trauma Healing ke Sumatra

16 Des 2025

Libur Natal, Stasiun di Semarang Diserbu 145 Ribu Penumpang, KA Tawang Jaya Jadi Favorit!

16 Des 2025

Mengenal Tradisi Pancen; Cara Orang Jawa 'Menjamu' Leluhur Jelang Hari Raya

16 Des 2025

Warga Jakarta Habiskan 108 Jam Setahun Terjebak Kemacetan

17 Des 2025

Alasan Agensi Seringkali Diam saat Ada Isu Kencan Selebritas K-pop

17 Des 2025

Mulai Tahun Depan, Pasien Bisa Berobat pakai BPJS di RSUD Mijen Semarang

17 Des 2025

5 Pilihan Hotel Mekkah 1 Jutaan, Ada Fasilitas Shutle Gratis

17 Des 2025

Pemkot Turunkan Tim untuk Telusuri Kebenaran Isu Harimau Semarang Zoo Dijual

17 Des 2025

Terjebak 'Gali Lubang Tutup Lubang', Mengapa Pinjol Bisa Bikin Kecanduan?

17 Des 2025

Sabdo Pandito Ratu; Menakar Integritas Pemimpin Lewat Kesaktian Kata

17 Des 2025

Sulit Cari Kerja Formal, Banyak Lulusan S1 Jadi Pengemudi Ojol

18 Des 2025

Mulai Tahun Depan, Registrasi Kartu SIM Harus dengan Verifikasi Wajah

18 Des 2025

Pindah ke Air Baku, Upaya Memperlambat Penurunan Muka Tanah di Pesisir Semarang

18 Des 2025

Ternak Ayam 'Kub' di Pekarangan Kantor Camat, Telurnya Dibagikan Gratis

18 Des 2025

Libur Nataru Seru dan Aman Bareng Kereta Api, Daop 4 Semarang Siaga Pol-polan!

18 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: