BerandaHits
Senin, 11 Sep 2022 09:05

Pranoto Mongso, Ramalan Cuaca yang Dipegang Teguh Petani Jawa

Pranoto mongso menjadi pedoman musim dan pertanian petani Jawa. (Inibaru.id/Triawanda Tirta Aditya)

Orang Jawa mengenal pedoman perubahan musim bernama pranoto mongso. Berkat pedoman ini, para petani jadi tahu kapan harus menanam tanaman dan menghindari gagal panen.

Inibaru.id – Beda dengan kebanyakan orang Indonesia yang hanya mengenal dua jenis musim, yaitu kemarau dan hujan, orang Jawa punya pedoman musimnya sendiri. Mereka menyebutnya sebagai Pranoto Mongso. Jenis musimnya bermacam-macam dan sering dijadikan acuan untuk pertanian.

Kebanyakan orang Jawa yang masih memakai pedoman pranoto mongso ini adalah generasi tua. Mbah Juni, seorang warga dari Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Bernama masih memakainya. Berkat kemampuannya yang masih memahami pranoto mongso, banyak warga sekitar yang menganggapnya mampu membaca perubahan musim.

“Kemarau basah tahun ini, kalau di Serat Gatholoco ada namanya tahun sewindu. Ada 8 tahun sekali mengalami musim seperti ini. Sekarang windunya Sengoro. Kalau di tahun Je biasanya curah hujan tinggi,” ungkap kakek berusia 65 tahun.

Berkat pemahaman terkait pranoto mongso itu pula, dia tahu kalau pada 2020 lalu musim kemarau cukup panjang dan membuat banyak daerah kekurangan air bersih.

“Tahun 2020 itu tahun Wawu, larang (susah) hujan,” jelasnya sebagaimana dilansir dari Suara, Jumat (9/9/2022).

Dia pun menyebut urutan siklus musim 8 tahunan tersebut, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Seperti sekarang, pada 2021 lalu adalah musim yang airnya melimpah karena sedang memasuki tahun Ehe.

Mengenal Serat Gatholoco

Dengan mengikuti Pranoto Mongso, petani bisa menghindari gagal panen. (Inibaru.id/Triawanda Tirta Aditya)

Serat Gatholoco dikenal masyarakat di sekitar eks-Karesidenan Kedu dalam bentuk Suluk. Serat ini dianggap seperti primbon, panduan hidup atau ramalan kehidupan manusia dari kelahirannya sampai kematian. Salah satu panduan hidup yang tertera di serat ini adalah siklus perubahan alam. Dari pedoman inilah, masyarakat Jawa bisa menentukan tanaman apa yang bisa ditanam di lahan pertanian dan lain-lainnya.

“Serat Gatholoco ditulis dalam huruf Arab pegon. Tapi sekarang banyak yang ditulis dalam huruf latin sehingga mudah untuk dipahami. Terkait dengan perubahan musim, serat ini memakai pedoman pergeseran matahari,” ungkap pemuda dari Desa Giritengah, Ahmad Solikan.

Dari serat inilah, warga desa tempat Ahmad dan Mbah Juni tinggal mengenal 12 musim yang jadi patokan pengolahan lahan pertanian. O ya, di sana, perubahan musim berlangsung cukup singkat, yaitu 23 hari, 24 hari, 25 hari, sampai 41 hari.

Biasanya, mongso pertama hadir pada 22 Juni dan disebut sebagai mongso koso. Pada 2 Agustus, dikenal sebagai mongso karo. Setelahnya, pada 25 Agustus, hadirlah mongso ketelu dan pada 18 September adalah mongso kapat.

Mongso kelimo biasanya hadir pada 13 Oktober. Sementara itu, mongso kanem hadir pada 9 November dan kapitu diawali pada 22 Desember.

Mongso kewolu atau ke delapan biasanya dimulai pada 3 Februari. Sementara itu, pada 1 Maret, mongso kesongo dimulai. Pada bulan yang sama, tepatnya pada 26 Maret, mongso kesepuluh dimulai.

Mongso kesewelas atau ke-11 dimulai pada 19 April dan mongso kedusto atau ke-12 dimulai pada 12 Mei.

Lantas, bagaimana mereka bisa menentukan mongso-mongso tersebut untuk mengolah lahan pertaniannya?

Misalnya pada mongso kanem, padi harus mulai ditanam. Tanaman lain seperti palawija juga bisa ditanam pada bulan kanem dan kesongo. Khusus untuk tembakau, biasanya baru mulai ditanam pada mongso koso.

Pantas saja pada masa sekarang, tembakau dari sekitar Giritengah belum dipetik. Hal ini sangat berbeda dengan tembakau Temanggung yang sudah dirajang. Kalau nggak mengikuti musim tersebut, masyarakat Giritengah yakin jika mereka bakal lebih berisiko mengalami gagal panen.

“Tanam padi misalnya, kalau tidak sesuai mongso, nanti padinya pasti gabuk atau kosong,” ungkap Mbah Juni. Oleh karena itulah, padi harus sudah ditandur sebelum mongso kepitu datang.

Mongso kepitu itu hujannya sudah sangat besar. Tanah susah dicangkul. Akar padi pun susah menjalar,” lanjutnya.

Menarik ya Millens, penentuan musim di Jawa yang disebut dengan pranoto mongso ini. Petani di sekitarmu masih ada yang memakainya, nggak, nih? (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024