BerandaHits
Minggu, 16 Jan 2021 12:00

Poligami Minggir Dulu, Suku-Suku Ini Akrab dengan Poliandri

Suku nama saja yang menerapkan poliandri? (Littlepinkstrawberries)

Meski kontroversial, poliandri menjadi praktik yang lazim bagi beberapa suku di dunia. Hak, kewajiban, bahkan pengakuan terhadap anak sudah diatur sedemikian rupa. Suku mana saja?

Inibaru.id – Perempuan dengan lebih dari satu suami atau poliandri memang praktik yang jarang ditemukan. Biasanya mereka akan diberikan label negatif dan dianggap nggak bermoral oleh masyarakat. Nggak seperti poligami.

Namun ternyata praktik ini lazim dilakukan oleh beberapa suku di belahan dunia ini lo. meskipun sebagian dari mereka sudah mulai meninggakannya. Berikut ini adalah 5 suku yang memperbolehkan praktik poliandri.

1. Suku Towda

Menikahi satu lelaki berarti menikahi seluruh saudara lelakinya. (The news kick)

Selama berabad-abad, suku yang tinggal di bukit Nilhiri, India ini telah mempraktikkan poliandri. Para lelaki bersaudara akan berbagi istri atau disebut juga dengan poliandri fraternal. Saat seorang perempuan menikahi seorang lelaki, itu berarti dia juga menikahi seluruh saudara lelaki suaminya. Mirip kisah Drupadi gitu deh, Millens.

Ketika istri tersebut hamil, suami pertama yang akan menjadi ayah dari anak pertama tersebut serta melakukan upacara pemberian busur panah. Pada kehamilan kedua, suami kedua yang akan menjadi ayah, begitu seterusnya. Kini praktik ini telah dilarang karena maraknya pembunuhan bayi perempuan yang baru lahir.

2. Suku Maasai

Perempuan harus menemani teman lelaki suaminya. (Angelicanjournal)

Bagi suku yang mendiami wilayah danau-danau besar Afrika ini, poliandri jadi suatu hal yang lazim. Jika seorang perempuan menikah, maka otomatis dia juga menikahi teman sebaya suaminya. Ketika teman sang suami datang, istri diharuskan berhubungan badan dengannya.

Semua anak yang lahir juga dianggap anak dari sang suami. Namun kini perempuan di Suku Maasai sudah bisa memilih untuk menerima atau menolak menemani tamu dari suaminya.

3. Suku Guanches

Jumlah lelaki dan perempuan yang timpang jadi awal mula poliandri di sini. (CNN)

Mereka yang termasuk suku Guanches adalah penduduk asli Kepulauan Canary di barat laut pesisir Afrika. Praktik poliandri di sini berawal dari bencana kelaparan abad ke-14 dan ke-15. Peristiwa ini menewaskan banyak perempuan.

Akibatnya ketimpangan jumlah penduduk nggak bisa dihindarkan. Jumlah lelaki di Suku Guanches pun lebih banyak ketimbang perempuan. saat itu, seorang perempuan bisa menikahi maksimal 5 lelaki sekaligus. Wow!

 4. Suku Mosuo

Perempuan suku Mosuo lazim melakukan nikah jalan. (Chinadaily.com)

Praktik poliandri bagi suku yang terletak di tepi Danau Lugu, Pegunungan Himalaya dikenal dengan tradisi ‘nikah jalan’. Kemiskinan membuat mereka nggak bisa hidup terpisah dari orang tua. Maka ketika ada lelaki datang pada malam hari, perempuan bisa menerima atau menolaknya untuk bermalam.

Dalam hal ini, perempuan dapat memilih dan berganti pasangan sesuka hati. Praktik ini dianggap nggak merugikan perempuan. Mereka juga nggak dianggap sebagai perempuan yang nggak bermoral.

5. Penduduk Tibet

Mereka terbiasa berbagi istri dengan saudara lelaki. (Armchair tourist)

Salah satu tradisi penduduk Tibet adalah tanah warisan yang nggak dibagi-bagi demi menyokong kebutuhan keluarga. Sehingga mereka mempraktikkan poliandri agar saudara laki-laki tetap bertahan di rumah dan membantu pekerjaan.

Hal ini membuat perempuan menikahi banyak lelaki untuk membantu mengurus pertanian. Pernikahan mereka yang sudah dirancang sejak belia harus rela berbagi istri. Saudara lelaki tertua akan menjadi kepala rumah tangga, sedangkan yang lainnya membantu pekerjaan secara adil. Anak-anak merekapun diperlakukan secara adil.

Karena berbagai hal, praktik poliandri di beberapa suku di atas mulai ditinggalkan. Mungkin kamu nggak setuju, tapi tetap harus menghormati tradisi mereka ya, Millens! (Aku/IB27/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Mengenal 4 Budaya Kota Semarang yang Kini Berstatus Warisan Budaya Takbenda

21 Nov 2024

Memahami Perempuan Korea di Buku 'Bukannya Aku Nggak Mau Menikah' Karya Lee Joo Yoon

21 Nov 2024

AI Bikin Cerita Nyaris Sempurna, Tapi Nggak Mampu Bikin Pembaca Terhanyut

21 Nov 2024

Dilema Membawa Anak ke Tempat Kerja

21 Nov 2024

La Nina Masih Berlanjut, BMKG Minta Kita Makin Waspada Bencana Alam

21 Nov 2024

Kematian Bayi dan Balita: Indikator Kesehatan Masyarakat Perlu Perhatian Serius

21 Nov 2024

Ketua KPK Setyo Budiyanto: OTT Pintu untuk Ungkap Korupsi Besar

22 Nov 2024

Menelisik Rencana Prabowo Pengin Indonesia Hentikan Impor Beras Mulai 2025

22 Nov 2024

Meriung di Panggung Ki Djaswadi, sang Maestro Kentrung dari Pati

22 Nov 2024

Menemukan Keindahan dalam Ketidaksempurnaan, Itulah Prinsip Wabi-Sabi

22 Nov 2024

Mencegah Kecelakaan Maut di Turunan Silayur, Ngaliyan, Semarang Terulang

22 Nov 2024

Apa Alasan Orang Jepang Tidur di Lantai?

22 Nov 2024

Rute Baru Semarang-Pontianak Resmi Dibuka di Bandara Ahmad Yani Semarang

22 Nov 2024

Bagaimana Sebaiknya Dunia Pariwisata Menghadapi Kebijakan PPN 12 Persen?

23 Nov 2024

Asal Mula Penamaan Cepogo di Boyolali, Terkait Peralatan Dapur

23 Nov 2024

Mengapa Warna Bangunan di Santorini Dominan Putih dan Biru?

23 Nov 2024

Kekerasan pada Perempuan; Siapa yang Salah?

23 Nov 2024

Wejangan Raden Alas: Warga Blangu, Sragen Dilarang Beristri Dua

23 Nov 2024

Alokasi Ditambah, Serapan Pupuk Bersubsidi di Jawa Tengah Capai 60,23 Persen

23 Nov 2024

Menguak Sejarah dan Alasan Penamaan Tulungagung

24 Nov 2024