BerandaHits
Rabu, 4 Jul 2023 15:08

Perihal Tempe dan Kedelai Lokal; Menanti Perhatian dari Pemerintah

Potret kedelai impor yang dibeli pengrajin tempe Jumadi. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Sampai kapan pengusaha tempe terbebas dari rasa was-was akan harga kedelai yang nggak stabil? Sudah saatnya pemerintah turun tangan mengatasi permasalahan produksi kedelai lokal.

Inibaru.id - Tempe merupakan bahan makanan yang akrab bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terbukti berdasarkan Data Indonesia (23/2/2022), konsumsi tempe dan tahu per kapita orang Indonesia mencapai 0,304 kilogram per minggu pada 2021. Angka ini naik signifikan jika dibandingkan dengan data 2020 yang mencapai 0,293 kilogram per minggu.

Sayangnya, keberadaannya terkadang langka bahkan lenyap dari pasaran karena harga bahan bakunya, yaitu kedelai, melambung tinggi. Harga kedelai yang cenderung nggak bisa dikendalikan itu disebabkan karena Indonesia masih tergantung pada suplai kedelai impor. Kalau sudah begitu, para pengusaha tempe yang merasa kelimpungan.

"Harga kedelai paling mahal pernah tembus Rp14 ribu per kilogram. Pasar kedelai dikuasai importir. Harga yang sering tidak stabil sering menyusahkan perajin kecil seperti saya," keluh Jumadi, seorang perajin tempe di Kota Semarang.

Sementara itu, dalam mendukung keberlangsungan produksi tempe, negara kita masih bergantung dengan kedelai impor. Dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, impor kedelai Indonesia mencapai 2,32 juta ton.

Butuh Campur Tangan Pemerintah

Proses penggodokan kedelai di rumah pengrajin tempe Jumadi. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Melihat realitas itu, Ketua Pusat Koperasi Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) Jawa Tengah Sutrisno Supriantoro menilai pemerintah tidak serius meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Padahal, petani kedelai di dalam negeri perlu perhatian lebih agar kedelai nggak melulu mendatangkan dari luar negeri.

"Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 10 persen saja, kedelai lokal kita nggak mampu. Ini harus jadi keprihatinan kita bersama," ucapnya.

Negara kita bukannya nggak mampu. Sutrisno, begitu dia disapa, menceritakan Era Orde Baru tepatnya tahun 1970-an, jumlah kedelai lokal melimpah sampai mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga 50 persen. Lambat laun, produksi kedelai lokal di dalam negeri terus anjlok hingga sekarang.

"Menurut saya masalah kedelai lokal itu karena tidak adanya campur tangan pemerintah. Contohnya, harga pupuk sering kali melambung tinggi. Masanya panen harga kedelai kadang amblas," papar Sutrisno.

Belajar dari Amerika

Proses fermentasi kedelai menjadi tempe. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Diakui Sutrisno, Amerika Serikat menjadi pemasok terbesar kedelai impor ke Tanah Air. Dirinya sangat kagum dengan keseriusan pemerintah di sana dalam memperhatikan sektor pertanian khususnya kedelai.

"Saya pernah ke Chicago melihat para petani kedelai. Pengelolaan produksi kedelai di sana luar biasa. Pupuk disubsidi, dan pascapanen kedelainya dibeli pemerintah," kata Sutrisno.

Sedangkan di Indonesia, apa yang terjadi? Selalu terjadi ketidakstabilan harga kedelai sehingga meresahkan para pengusaha tempe. Nggak heran jika kadang kita menjumpai ukuran tempe di pasar jauh menyusut.

Lelaki yang tinggal di daerah Salatiga itu berharap pemerintah mau memperhatikan kesejahteraan petani kedelai. Rasanya cukup sedih, tanah subur yang dimiliki Indonesia tidak mampu menghasilkan jutaan ton kedelai seperti negara Amerika.

"BUMN harus jadi importir kedelai. Jangan pihak swasta semua yang jadi importir!" pungkas Sutrisno penuh harap.

Ini menjadi keadaan yang ironis ya, Millens? Masyakarat begitu mencintai tempe, tapi untuk memproduksinya, kita mesti bergantung pada suplai kedelai dari luar negeri. (Fitroh Nurikhsan/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024