Inibaru.id - Hujan deras mengguyur Ibu Kota ketika koalisi mahasiswa dan masyarakat sipil lintas wilayah mulai memadati Gedung DPR RI di Jakarta pada Selasa (18/11/2025). Mereka datang untuk menolak pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) hari itu.
Secara garis besar, massa aksi ingin menekankan bahwa pengesahan itu berpotensi melemahkan demokrasi dan reformasi hukum. Namun, seperti angin lalu, proses pengesahan tetap berlangsung dan KUHAP pun resmi menjadi undang-undang untuk mendampingi KUHP yang akan berlaku mulai awal tahun mendatang.
Menanggapi hal ini, Amnesty International Indonesia bereaksi cukup keras. Deputi Direktur Amnesty Wirya Adiwena menegaskan, pengesahan itu menandai kemunduran serius dalam komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
"Alih-alih menjadi tonggak pembaruan hukum acara yang lebih modern dan berkeadilan, revisi ini justru memperlihatkan regresi yang mengkhawatirkan," tutur Wirya dikutip dari laman resmi Amnesty, Selasa (18/11).
Disahkan secara Aklamasi
Sedikit informasi, pengesahan RKUHAP menjadi undang-undang itu dilakukan secara aklamasi oleh semua fraksi dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani di Senayan. Setelah mendengar laporan Ketua Komisi III Habiburokhman, seluruh fraksi segara menyatakan setuju tanpa penyangkalan.
Dalam paparannya, Habiburokhman menilai KUHAP baru ini dibutuhkan seiring dengan akan dibelakukannya UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku awal tahun depan, tepatnya pada 2 Januari 2026.
Amnesty mencatat, document properties draf KUHAP terakhir yang diunggah ke laman DPR menunjukkan bahwa dokumen tersebut baru dibuat pada 17 November sore. Artinya, dokumen dibuat kurang dari 24 jam dari waktu pengesahan.
Padahal, selama proses penyusunan revisi KUHAP, Amnesty yang tergabung bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP terus mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisinya secara menyeluruh dan berkeadilan.
Tanpa Partisipasi Publik yang Bermakna
Wirya mengatakan, proses penyusunan draf RKUHAP nggak benar-benar melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Pada Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP yang hanya berlangsung dua hari (12-13/11), pemerintah dan Komisi III membahas masukan pasal yang diklaim seolah-olah berasal dari masukan masyarakat sipil.
"Untuk itu koalisi telah mengajukan somasi atas sejumlah anggota Komisi III DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan terkait dugaan pelanggaran kode etik," tegasnya.
Menurut Wirya, proses penyusunannya berlangsung minim transparansi, bahkan memanipulasi partisipasi publik, meski masyarakat sipil telah berkali-kali meminta agar DPR dan pemerintah nggak terburu-buru merevisi KUHAP demi menghasilkan regulasi yang berkualitas dan berkeadilan.
“Bahkan, DPR baru mengunggah draf KUHAP yang disahkan kurang dari 24 jam sebelum waktu pengesahan. Hal ini tentu sangat menyulitkan terjadinya partisipasi bermakna dengan masyarakat sipil,” tuduhnya.
Pencatutan Sejumlah Lembaga
Sebelumnya, sempat beredar kabar bahwa penyusunan revisi KUHAP telah melibatkan aspirasi masyarakat. Salah satunya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Namun, hal ini dengan tegas dibantah Ketua BEM Undip Aufa Atha Ariq.
"BEM Undip secara kelembagaan menyatakan tidak pernah sekalipun ikut dalam proses tersebut," kata Aufa, dikutip dari Tempo, Rabu (19/11). "Kami justru mempertanyakan apakah dalam merancang KUHAP itu DPR benar melibatkan seluruh elemen masyarakat atau kosmetik semata?"
Nggak hanya BEM Undip, protes juga sempat dilayangkan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. Dia mengaku telah ditangkap dan ditahan polisi sejak 1 September, jauh sebelum rapat dengar pendapat (RDP) dilakukan. Nggak hanya menyangkal, dia juga mengkritik muatan RKUHAP yang bermasalah.
Selain BEM Undip dan Lokataru Foundation, beberapa lembaga yang dikabarkan menjadi bagian dari pembahasan revisi KUHAP itu adalah Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan LBH APIK Indonesia.
Hal ini terasa janggal karena sebagaimana Amnesty, seluruh organisasi itu tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP yang telah terang-terangan menyatakan penolakan terhadap revisi KUHAP sejak belum disahkan.
Sarat Pasal Kontroversial
Amnesty mangungkapkan, selain minim partisipasi masyarakat secara bermakna, penolakan dilakukan karena substansi RKUHAP sarat dengan pasal-pasal kontroversial yang memperlebar ruang penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, terutama kepolisian.
"Pasal-pasal bermasalah ini membuat warga negara bisa sewaktu-waktu diposisikan sebagai tersangka tanpa perlindungan memadai," kata Wirya.
KUHAP yang disahkan, lanjutnya, menentukan pemenuhan hak atas bantuan hukum berdasarkan besarnya ancaman pidana. Padahal, akses atas bantuan hukum, baik di pra-peradilan, penahanan, maupun investigasi merupakan prinsip dasar terpenuhinya hak atas peradilan yang adil.
Di sisi lain, revisi KUHAP memberikan kewenangan penangkapan dan penahanan tanpa izin pengadilan, sehingga memperbesar kemungkinan tindakan sewenang-wenang seperti yang terjadi pada gelombang penangkapan massal pasca-demonstrasi Agustus 2025.
"Ini adalah pelanggaran terhadap hak atas pembelaan dan peradilan yang adil (fair trial)," sebutnya.
Potensi Praktik Penjebakan
Nggak berhenti di situ, Amnesty memaparkan, ketentuan mengenai pembelian terselubung, penyamaran, dan operasi pengiriman di bawah pengawasan oleh penyelidik tanpa batasan jenis tindak pidana dan tanpa pengawasan hakim dalam beleid itu juga membuka potensi praktik penjebakan (entrapment) terhadap warga.
"Selain penjebakan, metode penyelidikan ini juga membuka peluang untuk merekayasa terjadinya tindak pidana beserta pelakunya. Tindak pidana pun tercipta dalam situasi yang belum tentu terjadi jika tidak ada praktik penjebakan," jelasnya.
Revisi ini, lanjutnya, juga memungkinkan warga ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan ketika belum ada kepastian telah terjadinya tindak pidana. Maka, alih-alih memperkuat keadilan, penghormatan pada rule of law dan hak peradilan pidana yang adil, KUHAP ini justru menempatkan aparat dalam posisi dominan.
"Mereka (aparat) dalam posisi dominan tanpa mekanisme akuntabilitas yang memadai, sementara warga semakin rentan terhadap kesewenang-wenangan negara," ujar Wirya.
Tanpa pembahasan yang komprehensif bersama masyarakat, keinginan untuk membangun sistem hukum acara yang adil, transparan, akuntabel, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia tentu akan jauh panggang dari api. Bagaimana menurutmu, Gez? (Siti Khatijah/E10)
