Inibaru.id - Dalam dunia sastra, nama Ophelia identik dengan kisah tragis. Ia adalah tokoh dalam drama Hamlet karya William Shakespeare. Seorang perempuan muda yang hidupnya hancur oleh intrik istana, luka keluarga, dan cinta yang tak pernah benar-benar memihaknya. Nasib akhir Ophelia mungkin adalah salah satu kematian paling terkenal dalam sastra dunia. Ia tenggelam di sungai yang dikelilingi bunga, usai kehilangan pegangan atas hidup yang terus menekannya.
Tapi ratusan tahun setelah Shakespeare menulis akhir yang pahit itu, sebuah tangan lain datang dan setidaknya secara simbolis menarik Ophelia keluar dari sungainya. Tangan itu milik Taylor Swift. Lewat lagu terbarunya "The Fate of Ophelia", penyanyi pop itu memberi napas baru pada karakter lama yang selalu dibaca sebagai lambang kepatahan.
Bagi Swift, Ophelia bukan sekadar tokoh tragedi. Ia adalah metafora untuk perasaan perempuan yang pernah “tenggelam” dalam patah hati, tekanan, pengkhianatan, hingga trauma masa lalu. Taylor meminjam ingatan kolektif kita tentang Ophelia untuk menciptakan gambaran betapa ia sendiri pernah merasa di ambang karam. Di bagian awal lagu, ia menulis tentang “melancholy” yang menenggelamkan, gelombang masa lalu yang begitu berat, dan ketakutan bahwa ia akan memiliki nasib yang sama: menjadi perempuan yang kalah oleh hidup.
Namun, hal paling menarik dari lagu ini bukan pada kesedihannya melainkan pada keberaniannya mengubah alur. Jika Shakespeare mengakhiri hidup Ophelia di dalam air, Swift justru menulis adegan kebalikannya. Ada seseorang yang datang, memanggil dari kejauhan, lalu “menggali dari kubur” dan menyelamatkannya dari takdir tragis itu. Di titik inilah lagu tersebut menjadi reinterpretasi modern yakni Ophelia Taylor Swift tidak mati. Ia bangkit!
Para penggemar tentu tak asing dengan dugaan bahwa sosok penyelamat ini adalah kekasih Taylor, Travis Kelce, atlet NFL yang kerap disebut membawa stabilitas dalam hidup sang penyanyi. Tapi lebih dari sekadar kisah cinta, penyelamatan Ophelia versi Swift merefleksikan perjalanan emosionalnya bahwa masa lalu bisa gelap, tetapi jalan keluar selalu mungkin ketika seseorang mau menolong kita, atau ketika kita akhirnya menolong diri sendiri.
Ophelia pun berubah dari sekadar simbol kerapuhan menjadi gambaran perempuan yang menemukan cahaya baru. Ia tidak lagi terperangkap dalam sungai yang menelan hidupnya; ia berjalan keluar, menantang takdir. Di tangan Shakespeare, Ophelia adalah tragedi. Di tangan Taylor Swift, ia adalah kesempatan kedua.
Dan barangkali, di tangan siapa pun yang pernah merasa tenggelam, Ophelia selalu menjadi pengingat bahwa ada cara lain untuk menutup cerita. Tidak harus dengan karam bisa dengan bangkit, pulih, dan memilih akhir yang berbeda. Hm, bagaimana menurutmu, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
