Inibaru.id – Intifada adalah sebuah gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan yang dilakukan Israel. Sudah dua kali Intifada terjadi yaitu pada Desember 1987 hingga September 1993 dan kedua September 2000 hingga 2005. Dalam Intifada Kedua yang juga kerap disebut sebagai Intifada Al-Aqsa, banyak korban berjatuhan. Sebanyak 5.000 warga Palestina tewas, sementara dari pihak Israel sekitar 1.400 jiwa.
Intifada Pertama
Kalau melansir Britannica, ada beberapa faktor pemicu dan penyebab utama pecahnya Intifada Pertama, Millens. Pertama, Israel merampas tanah dan membangun permukiman d Tepi Barat dan Jalur Gaza. Perbuatan ilegal tersebut dilakukan usai partai sayap kanan Likund memenangkan pemilu pada 1977.
Kedua, represi Israel meningkat sebagai tanggapan atas maraknya protes Palestina usai invasi Israel ke Lebanon pada 1982. Sebab ketiga, munculnya kader-kader aktivis lokal Palestina baru yang menantang kepemimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Kemunculan aktivis tersebut adalah hasil dari sebuah proses yang juga dibantu Israel guna mengekang aktivisme politik serta memutuskan hubungan PLO dengan wilayah pendudukan pada awal 1980-an.
Keempat, reaksi atas invasi Israel terhadap Lebanon. Kalau dicermati, faktor-faktor yang menumpuk itu hanya butuh satu pemantik hingga memunculkan kerusuhan besar. Siapa sangka, pemantik itu terjadi juga.
Jadi, pada 8 Desember 1987, empat pekerja Palestina yang berada dalam satu mobil di kamp pengungsi Jabalya tewas usai dikejar kendaraan militer Israel. Kematian mereka memicu aksi protes besar-besaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Produk serta usaha milik Israel diboikot warga Palestina. Sebagai gantinya, warga Palestina memakai produk rumahan milik mereka sendiri.
Warga Palestina juga secara sembunyi-sembunyi mengelola universitas, klinik, maupun sekolah. Mereka juga melakukan perlawanan fisik. Perlawanan fisik ini sebagian besar terjadi selama awal gerakan Intifada Pertama.
Awalnya, warga Palestina melakukan perlawanan terhadap tentara Israel dengan batu dan bom molotov. Di sisi lain, Israel membalasnya dengan lebih kejam. Akhirnya, warga Palestina membalas dengan senapan, granat tangan, dan bahan peledak saking nggak tahannya dengan kekejaman tentara Israel.
Kelompok hak asasi manusia B'Tselem mengatakan, hampir 2.000 nyawa melayang akibat kekerasan selama Intifada Pertama. Rasio kematian Palestina dan Israel sekitar 3 banding 1. Selama Intifada Pertama berlangsung pada 1987 hingga 1993, terjadi mobilisasi massa dan protes besar-besaran.
Kemudian, pada 1988, PLO menerima persyaratan-persyaratan yang diajukan Amerika Serikat (AS) dalam sebuah dialog antara AS dengan Palestina. Karena Intifada terbukti membuat politik dan ekonomi Israel rusak, pemerintahan baru Israel pemenang pemilu 1992 mengusulkan perdamaian.
Banyaknya korban yang jatuh dari pihak Palestina, membuat PLO mengubah taktik perjuangannya. Mereka berdiplomasi. Pada awal 1993, pembicaraan rahasia diadakan para perunding Israel dan PLO di Oslo, Norwegia. Kemudian, pada 9 September 1993, Pemimpin PLO Yasser Arafat mengirim surat kepada PM Israel Yitzhak Rabin.
Dalam surat itu, PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata. Akhirnya, pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin menandatangani perjanjian di Washington DC, AS, yang dikenal sebagai Kesepakatan Oslo.
Negosiasi dan Kekerasan Berkelanjutan
Sayangnya, taktik perjuangan PLO yang mengedepankan diplomasi nggak disetujui organisasi Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas). Mereka memilih berseberangan dengan PLO.
Organisasi yang didirikan pada 1987 ini mengangkat visi negara Islam di seluruh Palestina yang bersejarah. Mereka menolak Kesepakatan Oslo dan melakukan berbagai upaya untuk membatalkan pembicaraan damai. Mereka nggak segan melakukan serangkaian serangan bunuh diri terhadap sasarannya; Israel. Sementara itu, Israel terus saja membangun permukiman di wilayah pendudukan. Belum lagi, Palestina mengimpor senjata dan membangun pasukan keamanan.
Bisa dibilang keduanya melanggar Kesepakatan Oslo. Konsekuensinya, pembicaraan perdamaian terhenti pada 2000. Israel dan Palestina sama-sama tenggelam dalam gelombang frustrasi dan saling tuduh.
Nggak lama kemudian, calon perdana menteri Likud, Ariel Sharon, mengunjungi Temple Mount (Kompleks Masjid Al-Aqsa) di Yerusalem. Kedatangannya diartikan sebagai pernyataan kedaulatan Israel atas situs suci tersebut. Tentu saja, hal tersebut menimbulkan kerusuhan. Polisi Israel menanggapi kerusuhan itu dengan kekuatan mematikan. Bukannya terhenti, kerusuhan itu dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah pendudukan. Yap, Intifada Kedua dimulai.
Intifada Kedua
Dibanding Intifada Pertama, Intifada Kedua jauh lebih berdarah. Selama lima tahun gerakan perlawanan itu berlangsung sejak 2000, mengakibatkan lebih dari 4.300 orang tewas. Rasio kematian Palestina dan Israel sekitar 3 banding 1. Pada Maret 2002, sebuah bom bunuh diri menewaskan 30 orang, dan membuat tentara Israel melancarkan operasi militer untuk menduduki kembali Tepi Barat dan sebagian Gaza.
Israel kemudian membangun pagar penghalang di Tepi Barat satu tahun kemudian. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan penghalang serupa yang didirikan di Gaza pada 1996. Pada akhir Intifada Kedua kekerasan memang mereda, tapi kondisi nggak jadi lebih baik. Israel tetap membangun permukiman di Tepi Barat.
Selain itu, Israel juga memperketat kontrol terhadap pergerakan barang dan warga Palestina. Dukungan kepada otoritas Palestina juga hampir hilang di tengah tuduhan korupsi. Melihat harapan yang makin menjauh, banyak warga Palestina yang beralih mendukung Hamas. Buktinya, Hamas memenangi pemilu 2006 dan mengambil alih kekuasaan di Gaza pada 2007.
Duh, semoga masalah ini segera menemukan jalan keluar ya. Setiap manusia berhak mendapat kebebasan. Betul nggak, Millens? (Kom/IB21/E07)