Inibaru.id – Belakangan ini teknologi baru seperti ChatGPT bikin heboh banyak orang. Banyak orang yang yakin jika chatbot AI bakal mengubah kehidupan manusia, termasuk menyebabkan hilangnya sejumlah pekerjaan. Yang lebih mengerikan, peneliti AI bernama Kate Saenko dari Boston University, Amerika Serikat menuding ChatGPT bisa membahayakan lingkungan.
Karena bisa diminta untuk menyelesaikan berbagai macam perintah sehingga diyakini akan mempermudah manusia, chatbot AI bersifat generatif. Artinya, teknologi baru ini mampu mengolah sekaligus memproduksi data kompleks dalam waktu yang cepat. Oleh karena itulah, ChatGPT mampu diminta untuk menjawab pertanyaan, membuat paragraf, gambar, serta membuat video dengan durasi pendek.
Bukankah hal tersebut baik? Sekilas memang begitu. Masalahnya, nggak banyak orang yang menyadari jika ada konsekuensi dari semakin cerdasnya sebuah teknologi. Untuk mampu melakukan perintah-perintah tersebut, dibutuhkan energi yang sangat besar.
Menurut Saenko dalam “Is Generative AI Bad for the Environment? A Computer Scientist Explains the Carbon Footprint of ChatGPT and Its Cousins” yang diterbitkan The Conversation pada Selasa (23/5/2023), pada 2019 lalu saja, pengembangan sebuah AI generative bernama BERT memerlukan energi yang sama dengan penerbangan antar-benua sekali jalan.
Lantas, bagaimana dengan ChatGPT? Khusus untuk pengembangan terbarunya, yaitu GPT-3, mampu membuat emisi yang sama dengan emisi yang diproduksi mobil dengan bahan bakar bensin yang terus berjalan selama satu tahun, lo! Ingat, angka ini baru dihitung dalam proses pengembangan, belum melibatkan seberapa banyak energi yang digunakan jika nantinya AI tersebut dipakai oleh banyak orang.
Penelitian juga mengungkap bahwa untuk menyelesaikan satu permintaan, AI generatif bisa membutuhkan energi 4 sampai 5 kali lebih besar dari pada dengan yang dihabiskan mesin pencari dalam mencarikan satu jawaban dari pengguna. Masalahnya, permintaan atau pertanyaan yang diajukan nantinya akan semakin banyak dan semakin rumit. Artinya, energi yang dibutuhkan nantinya akan semakin besar.
Bukankah energi yang dibutuhkan untuk menyalakan komputer dan mesin-mesin yang menjalankan AI generatif itu adalah energi listrik? Bukannya BBM atau energi lain yang nggak ramah lingkungan? Hal itu memang benar. Masalahnya, sumber pembangkit energi listrik yang digunakan oleh perusahaan-perusahan pengembangan teknologi tersebut belum tentu ramah lingkungan.
Asal kamu tahu saja ya, Millens, salah satu penyumbang terbesar dari emisi karbon global terbesar dunia adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Berdasarkan laporan Bloomberg NEF, sumbangannya bahkan sampai 30 persen dari total emisi karbon. Dampaknya bisa menyebabkan kenaikan suhu rata-rata bumi sampai 0,3 derajat Celcius lo.
Masalahnya, Indonesia bersama dengan Amerika Serikat dan India masuk dalam negara-negara dengan PLTU batu bara terbanyak di dunia. Negara-negara lain yang juga getol mengembangkan teknologi seperti Tiongkok, Afrika Selatan, Brasil, Jepang, India, Korea Selatan, Turki, hingga sejumlah negara seperti Italia dan Jerman juga masih banyak yang memakai PLTU yang nggak ramah lingkungan ini.
Ke depannya, Saenko berharap para pengembang teknologi AI mampu membuat teknologinya lebih efisien sehingga nggak menghabiskan energi lebih banyak. Diharapkan, hal ini bisa membantu menurunkan emisi karbon yang dihasilkan. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E05)