BerandaHits
Minggu, 15 Nov 2025 11:01

Benarkah Kisah Frankenstein Lahir Gara-gara Dampak Letusan Gunung Tambora?

Ilustrasi letusan Gunung Tambora yang bikin dunia mengalami perubahan iklim. (Guardian)

Konon, gara-gara letusan Gunung Tambora yang bikin dunia mengalami perubahan iklim, Mary Shelley terinspirasi bikin karya sastra 'Frankenstein' yang melegenda. Apakah hal ini benar?

Inibaru.id - Kalau kamu pernah dengar nama Frankenstein, pasti yang terbayang adalah sosok monster menyeramkan ciptaan seorang ilmuwan gila. Tapi, tahukah kamu kalau ada teori yang bilang kisah karya Mary Shelley ini sebenarnya “lahir” gara-gara letusan Gunung Tambora di Indonesia?

Wah, menarik banget ya! Tapi benarkah begitu? Mari kita bahas pelan-pelan.

Mitos yang (terlanjur) populer

Cerita ini sering muncul; tahun 1815, Gunung Tambora di Sumbawa meletus dahsyat dan menebarkan abu vulkanik ke atmosfer hingga menyelimuti dunia. Dampaknya luar biasa karena bikin suhu global turun, langit gelap tanpa matahari hingga berbulan-bulan, hujan tak berhenti turun, dan gagal panen terjadi di mana-mana. Tahun 1816 pun dikenal sebagai “tahun tanpa musim panas”, terutama di Eropa.

Nah, saat itu Mary Shelley sedang berada di Swiss bersama pasangannya, penyair Percy Bysshe Shelley, dan sahabat mereka, Lord Byron. Karena cuaca buruk, mereka terkurung di sebuah vila di tepi Danau Geneva. Untuk mengusir bosan, Byron menantang mereka semua menulis cerita horor. Dari situ, Mary menulis kisah yang kemudian dikenal dunia: Frankenstein; or, The Modern Prometheus.

Ceritanya memang cocok banget dengan suasana muram saat itu yang gelap, dingin, dan penuh kegelisahan. Maka, banyak orang kemudian percaya jangan-jangan letusan Tambora yang bikin Mary Shelley terinspirasi bikin kisah tersebut.

Dugaan yang Kurang Tepat

Ilustrasi dampak letusan Tambora. (Historyexpose)

Kalau ditelusuri lebih dalam, klaim ini ternyata agak kebanyakan bumbu. Memang benar, letusan Tambora punya dampak global dan menciptakan anomali cuaca di banyak tempat. Tapi, bukti bahwa kondisi cuaca di Swiss waktu itu langsung disebabkan oleh abu Tambora masih lemah. Beberapa catatan cuaca di Eropa menunjukkan perubahan iklim yang tidak terlalu ekstrem seperti yang sering dibayangkan.

Selain itu, banyak ahli berpendapat kalau inspirasi utama Mary Shelley bukan datang dari fenomena alam, tapi dari situasi sosial dan politik yang sedang panas saat itu. Bayangkan saja, Eropa baru saja lepas dari perang panjang era Napoleon (1803–1815) yang menghancurkan banyak kota, lahan pertanian, dan kehidupan masyarakat. Mary juga hidup di masa awal revolusi industri, ketika mesin mulai menggantikan tenaga manusia.

Keresahan sosial, penderitaan rakyat, serta rasa takut terhadap kemajuan teknologi inilah yang sebenarnya lebih mungkin melahirkan sosok “monster” Frankenstein, bukannya letusan gunung di belahan dunia lain.

Kalau kita lihat lebih dalam, Frankenstein bukan sekadar kisah horor. Ini adalah kritik Mary Shelley terhadap ambisi manusia yang ingin “menjadi tuhan” lewat sains dan teknologi. Sosok Victor Frankenstein melambangkan ilmuwan yang terobsesi menciptakan kehidupan, tapi lupa bertanggung jawab atas ciptaannya.

Di sisi lain, monster yang ia buat bisa jadi simbol penderitaan masyarakat pasca perang dan revolusi industri. Mereka “diciptakan” oleh sistem, tapi kemudian dibuang dan disalahkan atas kehancuran yang terjadi.

Tambora tetap penting, tapi bukan inspirasi utama

Letusan Tambora jelas merupakan peristiwa besar dalam sejarah dunia karena mengubah iklim, menyebabkan kelaparan, bahkan mungkin memengaruhi suasana hati para penulis Eropa saat itu. Tapi menyebutnya sebagai inspirasi utama Frankenstein mungkin terlalu jauh.

Lebih tepat kalau kita bilang, cuaca muram akibat Tambora hanya jadi “latar” yang memperkuat suasana kelam cerita Mary Shelley, bukan sumber ide utamanya. Inspirasi sebenarnya datang dari pengalaman hidup, kondisi sosial, serta refleksi Mary terhadap zaman yang penuh gejolak.

Jadi, kalau kamu mendengar mitos “Frankenstein lahir karena Tambora,” kamu bisa bilang: nggak sepenuhnya salah, tapi juga nggak benar. Yang jelas, baik Tambora maupun Mary Shelley sama-sama meninggalkan jejak besar dalam sejarah, yang satu lewat abu, yang satu lewat kata-kata. (Arie Widodo/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: