BerandaHits
Kamis, 26 Agu 2020 12:41

Begini Awal Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa Muncul di Indonesia

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih sering terjadi. (Flickr/Edi Susu)

Hebohnya tudingan adanya pakaian adat Tiongkok di uang baru Rp 75 ribu menunjukkan masih kuatnya prasangka dan kebencian terhadap Tionghoa di Indonesia. Sebenarnya, apa yang penyebab awal dari kebencian ini?

Inibaru.id – Meski telah dianggap sebagai bagian dari masyarakat Tanah Air, realitanya, sentimen terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih terjadi. Terbaru, warganet digegerkan dengan protes sebagian orang yang menganggap pakaian adat di pecahan uang Rp 75 ribu yang baru berasal dari Tiongkok. Padahal, protes ini tidak benar karena realitanya pakaian adat ini berasal dari Suku Tidung, Kalimantan.

Berdasarkan keterangan Eunike Mutiara Himawan dari University of Queensland, Australia, salah satu masa di mana kebencian terhadap etnis Tionghoa sangat tinggi adalah saat kerusuhan 1998. Sayangnya, prasangka ini ternyata masih bertahan cukup kuat hingga sekarang.

Daniel Chirot, pakar sosiologi dari Amerika Serikat menyebut masyarakat Indonesia masih menganggap etnis Tionghoa sebagai orang asing. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Indonesia yang mengidentifikasi warga negara dengan menentukan apakah seseorang berasal dari etnis “asli” atau bukan. Sayangnya, orang-orang Tionghoa nggak dianggap masuk dalam etnis “asli”.

Hal ini disebabkan oleh nggak adanya keterikatan etnis Tionghoa dengan wilayah di Indonesia. Sebagai contoh, orang Sunda identik dengan Jawa Barat, Minang dengan Sumatera Barat, atau Bugis dengan Sulawesi. Selain itu, kecemburuan masyarakat “asli” terhadap keberhasilan ekonomi orang-orang Tionghoa semakin memperuncing prasangka ini.

Banyak orang keturunan Tionghoa yang nggak tenang beribadah karena stigma di masyarakat. (Flickr)

Sejarah mencatat, prasangka terhadap orang Tionghoa ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Hal ini diawali dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan klasifikasi rasial pada 1854. Mereka memasukkan orang Tionghoa sebagai bangsa “Timur Asing”.

Saat pergerakan kemerdekaan mulai tumbuh di awal abad ke-20, orang Tionghoa mengalami masalah dalam memilih tiga pilihan nasionalisme, yakni Tiongkok, Belanda, atau calon negara Indonesia. Hanya, ada sebagian orang Tiongkok yang memilih untuk membentuk semacam organisasi nasionalis semacam Boedi Oetomo. Organisasi tersebut adalah Tiong Hoa Hwee Koan yang didirikan pada Juli 1900. Organisasi ini fokus pada pendidikan dan kebudayaan Tiongkok.

Di masa itu, sering terjadi konflik antara organisasi pedagang lokal dengan organisasi pedagang Tiongkok yang mulai dominan. Banyak pedagang lokal yang berusaha untuk memproteksi ekonominya. Hal ini ikut mempengaruhi munculnya organisasi hukum Sarekat Islam pada 1912. Organisasi ini dibuat untuk melindungi ekonomi lokal, khususnya perdagangan batik dalam menghadapi dominasi kaum Tionghoa dalam hal distribusi kapas, bahan pewarna, lilin, dan bahan impor lainnya.

Para petinggi keturunan Tionghoa juga kerap mendapat diskriminasi. (Flickr/Tatan Suflana)

Persaingan ekonomi ini ternyata memicu konflik di berbagai daerah seperti Solo, Surabaya, Pasuruan, Lasem dan Cirebon. Sejak saat inilah, banyak Peranakan Tionghoa yang mulai merasakan perubahan dari yang baik-baik saja dengan masyarakat lokal, menjadi penuh prasangka dan kebencian.

Memang, sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998, kerusuhan anti-Tionghoa sudah jauh berkurang. Hanya, konstruksi bahwa orang Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing sudah kadung melekat di benak banyak masyarakat.

Jika dirunut dalam sejarah, realitanya, empat orang peranakan Tionghoa masuk dalam anggota Badan Persiapan Untuk Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bahkan, Djiaw Kie Siong mengizinkan Soekarno dan Hatta singgah di rumahnya saat dibawa para pemuda ke Rengasdengklok, beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan. Jadi, kalau ada anggapan bahwa Orang Tionghoa nggak berperan dalam kemerdekaan Indonesia, hal ini sangat keliru, Millens.

Nah, kalau menurut kamu, apakah sebaiknya ada tindakan yang dilakukan pemerintah atau pihak lain agar sentimen terhadap masyarakat Tionghoa ini berakhir, Millens? Atau, sebaiknya biarkan saja seperti ini? (Kom/IB09/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: