Inibaru.id - Sejak saya tiba pukul 09.00 WIB hingga dua jam setelahnya, sampah-sampah terus berdatangan di TPA Jatibarang Semarang, Jawa Tengah. Sejak itu pula para pemulung terus bekerja di bawah gunungan sampah. Mereka menanti sampah tiba dan berdamai dengan cangkul eskavator yang terus mengeruk.
Di tengah hiruk-pikuk itu, salah seorang pemulung menepi. Peluh keringatnya bercucuran dan raut wajahnya tampak merah karena terpanggang matahari.
Topi penutup kepala dan keranjang yang ada di punggungnya dilepas. Dia menuju ke sejenis tempat peristirahatan yang hanya ditutup dengan kain seadanya; tampaknya memang sengaja dibuat untuk sekadar rehat barang sepeminuman teh. Di sana ada tumpukan botol dan plastik hasil kerja setengah harinya, bersebelahan dengan kursi bekas untuk mengeluk punggung.
“Istirahat dulu. Capek saya,” ujar lelaki yang hanya mau dipanggil Tikno dan menolak difoto itu, Kamis (24/3/2021). "Ada korek, Mas?" tanya dia kemudian, yang segera saya sahut dengan gelengan kepala.
Tikno tergolong orang baru di Jatibarang. Dia mengaku baru empat bulan bekerja sebagai pemulung setelah tersingkir dari pekerjaan lama sebagai buruh, sebagai dampak dari pandemi.
“Ya, (memulung) daripada tidak kerja. Lebih baik begini,” kata lelaki asal Salatiga tersebut.
Kendati terbilang baru di Jatibarang, mengais rezeki dari sampah bukanlah hal awam bagi Tikno. Sebelumnya, dia pernah bekerja di Bantar Gebang, pusat pembuangan akhir di Jakarta. Sehari-hari dia mengumpulkan plastik, sampah yang paling laku dijual.
Plastik penampung barang biasa dihargai Rp 1.000, sedangkan ember bekas sekitar Rp 1.800-2.000. Sementara, botol adalah sampingan karena harganya terbilang murah, sekitar Rp 300-600 saja. Botol plastik umumnya akan diberikan ke pengepul, sebelum disetorkan ke pabrik lagi.
Saban hari, Tikno bisa meraih Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Penghasilan yang sejatinya lumayan. Namun, dia mengaku nggak pengin terus bekerja sebagai pemulung. Kondisi yang belum bersahabatlah yang membuat dia bertahan.
"Semua ini sebagai perjalanan hidup," tuturnya bijak.
Menua Bersama Sampah
Lain Tikno, lain pula Reni yang kini telah menginjak usia 60 tahun. Saat bertemu dengannya, dia baru saja selesai mengais sampah. Perempuan paruh baya itu menggendong keranjang besar penuh dengan barang-barang bekas. Sampah dalam gendongannya itu bahkan tampak lebih besar daripada ukuran tubuhnya yang nggak terlalu tinggi.
Reni cukup ramah. Kepada saya, dia mengaku sudah menjadi pencari sampah sejak usianya masih gadis, bahkan setelah menikah.
“Sudah sejak gadis, menikah, dan sekarang jadi janda!” kelakarnya, lalu terkekeh. Reni sebetulnya lelah. Namun,menurutnya, hutang, biaya hidup, dan ongkos sekolah anak telah menantinya.
Ah, miris rasanya. Saya nggak bisa membayangkan, gimana mereka bisa tiap hari berkutat dengan sampah. Tentu bakal lebih banyak cerita pahit ketimbang kisah-kisah sukses di antara tumpukan sampah warga se-Kota Semarang itu.
Namun, terkadang, ada juga yang ketiban untung, misalnya menemukan segepok uang atau sebentuk perhiasan. Cerita ini pernah dialami Soleman. Lelaki 50 tahun tersebut mengaku pernah menemukan uang dengan jumlah hingga ratusan juta. Tumpukan uang itu hanya terbungkus plastik kresek warna hitam.
“(Tapi), karena duit itu saya sempat berurusan dengan polisi,” ujar lelaki yang mengaku sudah 20 tahun lebih juga bekerja sebagai pengepul sampah itu. Namun, Soleman mengaku bangga, karena berkat sampah, dia mampu menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.
Ya, ya, saya pikir, mereka memang patut bangga. Saya pun pulang dengan perasaan yang karut-marut. Melangkahkan kaki keluar dari Jatibarang, saya sempat melihat beberapa rumah semi-permanen seperti punya Tekno. Di antara rumah-rumah itu, yang terngiang di kepala saya adalah sebuah boneka rusak usang dan buku tipis berisi doa-doa.
Apakah doa agar bisa membayar hutang bakal menjadi salah satu permohonan yang orang-orang ini rapalkan? (Audrian F/E03)