Inibaru.id - Bunyi demung, gong, gambang, dan kenong yang ditabuh sudah nyaring terdengar saat kedua kaki saya menapaki selasar Gedung Monod Diephuis Semarang minggu lalu. Memasuki gedung bersejarah itu, saya dibuat terkejut karena para penabuhnya ternyata masih anak-anak.
Penabuh gamelan di benak saya biasanya adalah para paruh baya karena menurut saya, nggak banyak lagi generasi muda yang berminat menggeluti kesenian tradisional tersebut. Namun, saya keliru. Di tempat itu, anak-anak justru tampak bersemangat sekali memainkan gamelan.
Dalam lima tahun terakhir, tiap Minggu gedung yang beralamat di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, itu memang selalu dibanjiri puluhan anak yang tergabung dalam Sanggar Monod Laras. Sejak pagi hingga pukul 15.00 WIB, mereka belajar kesenian jawa, termasuk bermain gamelan.
Tjahjono Rahardjo, salah seorang pengurus Sanggar Monod Laras yang saya temui seusai mengajar anak-anak mengatakan, fokus utama mereka sejatinya adalah mendalang. "Tapi dalang nggak bisa lepas dari gamelan, jadi mereka (anak-anak) belajar (gamelan) juga," imbuhnya.
Oya, Sanggar Monod Laras dibuka untuk siapa saja, terutama anak-anak, yang mau belajar mendalang. Di sanggar tersebut, Tjahjono menjelaskan, anak-anak diajari dasar-dasar menjadi seorang dalang, mulai dari cara memegang wayang hingga karawitan, termasuk di dalamnya memainkan gamelan.
"Kenapa menyasar anak-anak? Tentu untuk regenerasi!" lontarnya berapi-api. "Kami ingin sedini mungkin memperkenalkan kesenian ini kepada generasi muda dengan harapan mereka yang akan melestarikannya ke depan."
Bukan Pekerjaan Mudah
Tjahjono bercerita, memperkenalkan kesenian jawa ke anak-anak bukanlah pekerjaan mudah. Banyak tantangan yang dihadapi lelaki paruh baya itu saat mendampingi mereka berlatih. Yang paling sedih adalah ketika ada anak yang memutuskan untuk nggak berlatih lagi di Sanggar Monod Laras.
"Konsentrasi anak ini terbatas. Setengah jam masih bisa diatur, tapi setelahnya semrawut, lari-lari ke sana ke mari. Di sinilah sebetulnya peran orang tua sangat penting. Mereka yang seharusnya paling mampu mendukung dan mendorong anak-anak untuk berlatih," terangnya.
Menyadari hal ini, lelaki yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang itu mengaku nggak ingin muluk-muluk. Dia nggak bisa berharap para anak didiknya akan menjadi pedalang nantinya. Baginya, yang terpenting adalah kesenian itu nggak pudar.
"Kami cuma bisa berharap, suatu hari nanti saat anak-anak ini jadi pejabat, guru, atau pengusaha, mereka bisa terus menghargai dan mengapresiasi kesenian jawa," kata Tjahjono.
Harapan itu sepertinya disambut baik oleh Jagad Dita Natanegara. Mulai berkenalan dengan kesenian jawa sejak balita, anggota sanggar yang kini berusia 11 tahun ini terbilang rajin mengikuti kegiatan di Sanggar Monod Laras saban minggu.
Jagad, begitu dia biasa memperkenalkan diri, mengaku memang bercita-cita menjadi pedalang. Berawal dari membaca buku tentang wayang, bocah lucu ini nggak bisa berhenti mengulik tentang kesenian tersebut, yang berujung pada keinginan untuk menyelaminya lebih dalam.
Dukungan Keluarga
Dari ketertarikan pada wayang, Jagad pun mulai mencari tahu lewat media sosial. Nggak berhenti di situ, dia bahkan sempat mengikuti pelatihan kesenian jawa di Sanggar Sobokartti, sebuah perkumpulan seni budaya di gedung cagar budaya Sobokartti Semarang.
"Saya menikmatinya. Cita-cita saya jadi dalang dan arsitek. Karena itu, kecuali sakit, saya nggak bakal absen latihan setiap Minggu (di Sanggar Monod Laras) ," janji bocah yang tiap latihan selalu diantar sang nenek ini.
Nenek Jagad, Pia Widya Laksmi, memang sangat mendukung kegiatan cucunya tersebut. Sudah sekitar tiga tahun dia rutin mengantarkan Jagad berlatih ke Sanggar Monod Laras. Baginya, dalam hal ini dukungan dari keluarga sangatlah penting.
"Saya senang lihat dia bersemangat belajar kesenian jawa. Dulu saya nggak ada kesempatan untuk belajar. Ya sudah, sekarang Jagad yang punya kesempatan saya dukung," tukas perempuan 69 tahun tersebut dengan ekspresi penuh kebanggan.
Pia menambahkan, minat Jagad pada kesenian jawa memang sangatlah besar. Berbeda dengan anak kecil pada umumnya yang suka nonton film kartun atau ngegim, cucunya justru lebih suka menggambar wayang
"Dia juga sering menonton pertunjukkan wayang lewat gadget," tandas Pia.
Senang sekali mendengar cerita tentang orang-orang yang meluangkan banyak waktu untuk merawat budaya daerah seperti mereka. Panjang umur, kesenian tradisional! (Fitroh Nurikhsan/E03)