Inibaru.id – Hujan masih turun dengan deras ketika saya tiba di Miwiti Space, Kota Lama Semarang, belum lama ini. Malam itu, cuaca begitu dingin di luar, tapi berubah menjadi terasa panas begitu saya memasuki open space yang biasa digunakan untuk perhelatan atau pameran seni tersebut.
Hari itu, Gemuruh menggelar gig keenamnya. Berbekal tiket presale seharga Rp35 ribu di tangan, saya memasuki ruangan yang sudah dipenuhi para penggemar musik underground tersebut. Saya kaget melihat lautan penonton yang datang, mengingat playlist-nya nggak populer bagi masyarakat awam.
Ruangan yang dibikin sangat redup membuat saya agak kesulitan menuju moshpit di depan panggung. Beberapa kali tubuh dan kamera saya terantuk penonton lain yang rata-rata berkaus hitam. Menyerah, saya pun akhirnya memilih melipir ke tepi panggung, lalu naik ke lantai dua untuk mengambil gambar.
Muhammad Bima, fotografer Gemuruh Gigs yang saya jumpai saat sedang memotret mengatakan, sejak digelar kali pertama, gig yang dibikin untuk mewadahi para pemusik dan pencinta musik underground ini memang hampir selalu dipenuhi penonton.
"Untuk gig kali ini, kami sengaja memberi wadah bagi White Swan, band rock asal Bali yang sedang tur album terbaru mereka, Behind the Door," kata lelaki yang juga didapuk sebagai Penanggung Jawab Gemuruh Volume 6 tersebut.
Wadah untuk Band Semarang
Di tengah kesibukannya memotret, Bima menerangkan, Gemuruh Gigs sengaja diciptakan untuk memberi wadah grup band atau pemusik yang membutuhkan panggung, terutama yang tumbuh di Semarang. Tujuannya, agar nama mereka terangkat dan lebih dikenal.
"Kami pengin kolektif musik underground ini menjadi wadah bersenang-senang, menyelesaikan masalah, belajar, sekaligus menambah wawasan baru di belantika musik," ujar Bima.
Dengan sense musik sama yakni underground, dia melanjutkan, para penggawa Gemuruh Gigs jadi bisa saling terhubung dengan mudah. Sebagian dari anggota juga umumnya memiliki band sendiri; misalnya Women in Bloom, Svuaka Pvsara, dan Unless.
"Jadi, kami ini seperti berjejaring; teman bermain yang bergerak bersama," serunya, yang terdengar sayup di telinga saya karena kalah dengan suara musik yang kian keras dan mengentak-entak.
Bima menambahkan, keberadaan Gemuruh Gigs di antara para pemusik underground Semarang adalah napas baru bagi mereka. Sementara bagi penyelenggara, keamanan gig juga nggak perlu terlalu ketat karena penonton, band, dan penyelenggara sudah saling kenal.
“Keamanan gig kami jaga bersama. Kalau situasi mulai kurang kondusif, kami bisa langsung menegur, bahkan memotong acara," kata Bima.
Moshpit yang Kondusif
Untuk yang belum tahu, istilah gig nggak jauh berbeda dengan konser atau pertunjukan musik live. Namun, di Indonesia, konsep gig lebih identik ke konser skala kecil untuk musik underground seperti rock, hardcore, metal, atau punk, yang kurang populer untuk kalangan umum.
Gig biasanya digelar di kafe atau open space dengan audiens tersegmentasi, meski nggak menutup kemungkinan untuk masyarakat awam. Selain panggung pertunjukan, gig underground umumnya memiliki moshpit, area di depan panggung yang memungkinkan penonton berekspresi.
Pada konser "musik keras", moshpit dipakai penonton untuk bergerak kolektif seperti melompat-lompat, mengibarkan panji, atau crowd surfing. Namun, nggak jarang mereka juga saling dorong, tendang, dan pukul, hingga mengakibatkan cedera.
Berdasarkan pengalaman saya menyambangi konser atau gig musik keras, nggak semua penonton datang karena mengenal band yang tampil; tapi untuk moshing, "kontak fisik" dengan penonton lain di tengah moshpit. Di Gemuruh Volume 6, saya bertemu Arya dan Sugeng.
Keduanya tengah menyeka keringat yang bercucuran saat saya bertemu dengan mereka sesaat setelah gig berakhir. Sembari menghela napas yang masih tersengal-sengal, Arya mengatakan, dia sengaja datang ke gig tersebut karena suka moshing-nya.
"Sejujurnya, kami nggak begitu kenal (sama band yang tampil), tapi suka cari keringat dengan 'kungfu" di moshpit," celetuk Arya sambil cengengesan, yang segera diiyakan Sugeng. "Tapi gig ini aman, kok. Semuanya berjalan kondusif."
Benar kata Bima, kendati Gemuruh Gigs digelar tanpa pengamanan yang ketat, jejaring yang saling mengenal dan bergerak bersama agaknya benar-benar menjadi barikade yang membuat moshpit tetap kondusif dan gig berjalan lancar hingga berakhir sekitar pukul 23.00 WIB.
Dengan adanya Gemuruh, semoga musik underground selalu mendapat tempat dan disambut hangat di Kota Semarang, ya, Millens! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)