Inibaru.id - Setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer sejak keberangkatan dari Provinsi Nakhon Si Thammrat, Thailand pada 23 Maret 2023 lalu, sebanyak 32 biksu yang sedang melakukan ritual thudong telah mencapai "garis finish" di Candi Borobudur. Menjelang etape terakhir, mereka sempat mampir ke Kota Semarang, beberapa hari silam.
Oya, bagi yang belum tau, thudong merupakan ritual melakukan perjalanan spritual yang pernah dilakukan Sang Buddha dan para muridnya. Selama perjalanan, para biksu hanya diperbolehkan makan sekali sehari dan bermalam di suatu tempat.
Nah, ke-32 biksu yang berasal dari negara-negara ASEAN ini melakukan ritus tersebut dengan berjalan kaki bertolak dari Thailand menuju Candi Borobudur untuk merayakan Waisak yang jatuh pada hari ini, Minggu (4/6).
Beberapa hari sebelum tiba di tempat ibadah penganut kepercayaan Buddha itu, saya sempat bertemu mereka. Saat itu rombongan tengah transit di Vihara Buddhadippa Pakintelan, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Senin (29/5) setelah menginap di Vihara Adi Darma, Semarang Timur, sehari sebelumnya.
Dentuman rebana dan lantunan selawatan menyambut kedatangan para biksu di Vihara Buddhadippa. Meski saat itu cuaca sangat panas, banyak warga berkerumun, menyambut mereka ramah. Gayung bersambut. Para biksu juga terlihat semringah. Sesekali mereka menerima ajakan berswafoto.
"Kebetulan saya yang memelopori ritual tudhong ini. Sudah enam tahun lalu saya dan teman-teman konsisten melakukan perjalanan tudhong ke negara-negara buddhis," tutur Wawan, biksu asal Indonesia kepada Inibaru.id di sela-sela waktu istirahatnya.
"Terakhir kami melakukan perjalanan tudhong dari Thailand ke Laos. Pas sampai di Laos, saya kepikiran dan berdiskusi dengan teman-teman; 'Yuk, sesekali ngadain ritual tudhong ke Indonesia!'" lanjut biksu asal Cirebon tersebut.
Terhenti karena Pandemi
Sebelum benar-benar terlaksana tahun ini, Wawan dan teman-teman sebetulnya telah melakukan perjalanan thudong ke Indonesia pada 2020. Sayangnya, perjalanan mereka tidak mencapai garis finis dan terpaksa dihentikan karena waktu itu pandemi Covid-19 tengah melanda Indonesia.
"Waktu itu kami sudah sampai Mangga Besar (Jakarta), tapi pandemi pecah dan ada larangan berpergian. Kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan thudong," ungkap Wawan.
Melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki, menurut Wawan, bukan perkara mudah. Faktor fisik dan tingkat spritual yang seimbang jadi kunci kesuksesan para biksu melakukan ritual tudhong.
"Selama ini kendalanya cuman satu, yaitu kondisi cuaca," kata Wawan. "Selebihnya kami harus mampu mengotrol emosional masing-masing."
Wawan mengaku senang bisa melakukan perjalanan melintasi Indonesia karena mendapatkan sambutan hangat dari warga setempat, yang jauh lebih baik dari ekspetasinya. Namun, perjalanan kali ini juga membuatnya sedih karena ada satu temannya yang gugur di tengah jalan.
"Sampai sekarang saya masih merasa kehilangan. Teman saya mengalami cedera dan harus dilarikan ke rumah sakit di Kota Klang, Malaysia. Dia nggak bisa melanjutkan perjalanan, tapi pada perayaan Waisak nanti, tetap saya undang untuk datang ke Borobudur," tutur Wawan.
Melaksanakan Sangha Dana
Selepas beristirahat sekitar 40 menitan di Vihara Buddhadipa, para biksu melanjutkan perjalanan menelusuri jalan setapak melewati hutan dan sungai Kaligarang menuju Vihara Buddha 2500 Jayanti di Bukit Wungkal Kasap di Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik.
Setibanya di vihara yang menjadi tonggak bersejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia itu, para biksu langsung melaksanakan sanghadana (pemberian dana kepada para sangha) dan doa bersama. Sekertaris Vihara Buddha 2500 Jayanti Santiphalo Wahyudi mengatakan, para biksu membacakan Dhammacakkappavattana Sutta.
Di tengah hutan yang rimbun itu para biksu dan umat Buddha duduk bersila, memejamkan mata, serta meletakan kedua tangan di depan dada. Dari sorot wajahnya, saya percaya dalam lubuk hati mereka tengah melantunkan doa-doa untuk sang Buddha.
"Istilah anak mudanya mungkin agak lebai ya, mbrebes mili (menangis haru) karena sambutan warga sini nggak terduga. Anak sekolah dan warga ramai yang memberikan sambutan, menyediakan makanan dan minuman dan menawarkan tempat transit untuk para biksu," tutur lelaki yang akrab disapa Wahyudi itu.
Keramahan dan rasa saling gotong royong yang ditunjukan masyarakat kepada Biksu Tudhong itu memunculkan suatu gagasan. Wahyudi ingin semua perayaan-perayaan besar saling melibatkan umat lintas agama. Menurutnya, cara itu bisa jadi upaya menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Semarang.
"Mungkin ke depannya acara-acara seperti takbiran keliling itu menjadi perayaan kita semua, Nyepi jadi perayaan kita semua, dan Waisak jadi perayaan kita semua," tukasnya penuh harap.
Dengan dukungan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia, para biksu pun berhasil menuntaskan misinya untuk sampai ke Candi Borobudur tepat waktu. Selamat merayakan Hari Waisak untuk kita semua! (Fitroh Nurikhsan/E03)