Inibaru.id - Musik keroncong yang sempat populer di Indonesia masuk ke Nusantara pada abad ke-16. Jenis musik itu dibawa oleh para pelaut dan budak kapal dari Portugis.
Walau penjajahan Portugis di Indonesia nggak lama, musik keroncong nggak lantas hilang begitu saja. Masyarakat Indonesia justru menyerap musik tersebut dan memainkannya sebagai sarana hiburan.
Sayangnya, genre musik yang melambungkan nama Gesang, Waldjinah, Mus Mulyadi, Hetty Koes Endang, dan Sundari Soekotjo itu sekarang mulai berkurang peminatnya. Kendati demikian, kamu sebagai generasi muda masih bisa menikmati keindahan musik keroncong lewat Komunitas Pelaku Keroncong Semarang (KPKS).
Meski baru seumur jagung, KPKS telah memiliki sekitar 50 orang anggota yang sama-sama menyukai dan memainkan lagu-lagu keroncong lo, Millens. Siapa yang menginisiasi komunitas ini? Dialah Bambang Wisnu Setiaji.
Bambang adalah pembuat alat musik sekaligus pencinta musik keroncong dari Kota Semarang. Kecintaannya pada keroncong dan keinginan untuk melestarikan genre musik yang memadukan budaya barat dan timur itulah yang menggerakkannya untuk mendirikan KPKS.
"Komunitas ini dibentuk untuk mengumpulkan para pelaku keroncong, termasuk pengamen. Kami ingin mengajari mereka gimana memainkan alat musik keroncong yang benar," jelasnya kepada Inibaru.id, belum lama ini.
Berawal dari Keresahan
Bambang pun bercerita, ihwal mula kepikiran untuk mendirikan KPKS adalah saat dirinya mulai merasa prihatin melihat keselamatan kawan-kawan sejawatnya saat mengamen di jalan. Dari situlah terbentuk KPKS, yang ditujukan untuk mewadahi para pelaku keroncong.
"Ide komunitas ini dari Mas Amar dan Mas Andra (kedua teman Bambang). Mereka mikir, ngamen kan nggak ada yang peduli soal keselamatan kerja? Nah, di KPKS kami dorong mereka bikin BPJS. Takutnya mereka kecelakaan, kan kasihan kalau bingung cari uang untuk ke rumah sakit," papar Bambang.
Kepedulian itu rupanya berbuah manis. Nggak sedikit orang yang berminat menjadi bagian dari KPKS. Jadi, meski dikenal sebagai musik zadul, jangan berpikir bahwa anggota komunitas ini hanya para orang tua, lo. Sebagian anggota KPKS justru masih terbilang sangat muda.
Bambang mengungkapkan, dirinya bahkan sengaja menggaet anak muda agar mau belajar keroncong. Untuk bisa merangkul mereka, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai satpam di salah satu universitas di Semarang ini melakukannya dengan pendekatan persuasif tanpa pemaksaan.
"Kalau ada yang mau belajar, kami arahkan untuk memainkan lagu-lagu musik modern dulu. Senangnya apa; pop, dangdut, atau apa? Nah, setelah bisa main, barulah perlahan kami dorong untuk ngulik lagu-lagu keroncong yang asli," tutur Bambang.
Menurutnya, siapa pun boleh bergabung dengan KPKS. Biasanya, mereka rutin berkumpul sekali dalam sebulan, yakni tiap Senin pada minggu kedua. Pas ngumpul, para anggota komunitas ini umumnya bakal saling memberi arahan sekaligus ngulik lagu-lagu keroncong.
"Bagi yang belum bisa (main musik), nggak perlu khawatir. Kami nggak segan mengajari dari nol, kok!" janjinya.
Kerja Sama dengan Tempat Wisata
Bambang nggak bisa tutup mata dengan anggapan bahwa keberadaan pengamen di sembarang tempat dapat mengganggu ketertiban umum. Karena itulah KPKS mencoba menjalin kerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang agar mereka diberi ruang mencari nafkah.
"Alhamdulillah, teman-teman bisa ngamen di sejumlah ruang publik dan tempat wisata ikonik di Semarang seperti Terminal Mangkang, Goa Kreo, Taman Lele, Lawang Sewu, Sam Poo Kong, dan Kota Lama," ujar Bambang.
"Kalau di Taman Lele sama Goa Kreo kami rutin setiap Sabtu-Minggu pukul 10.00-13.00, tapi kalau cuaca kurang mendukung ya kami libur," tambahnya.
Dari upaya mewadahi para pengamen keroncong jalanan itu Bambang berharap, komunitas yang telah berbadan hukum ini bisa membuat mereka berkembang. Lebih dari itu, Bambang juga memimpikan musik keroncong bisa mengulang masa kejayaannya seperti masa lalu.
"Semoga para penyuka keroncong banyak yang bergabung. Dengan begitu kami bisa menyelenggarakan event besar sebagai bentuk upaya melestarikan musik ini," tandasnya.
Tiap mendengar cerita inspiratif dari komunitas pelestari warisan musik lokal seperti KPKS ini, hati terasa lega ya, Millens. Kalau dengar keroncong, siapa yang langsung teringat "Sepasang Mata Bola" atau "Bengawan Solo"? Ha-ha. (Fitroh Nurikhsan/E10)