Inibaru.id - Nada-nada dari petikan gitar maestro akustik Jubing Kristianto mengalun lembut menembus pekatnya malam, membius puluhan penonton yang memenuhi Borobudur Ballroom Hotel Santika Premier Semarang akhir pekan lalu.
Beragam genre lagu dimainkan; diramu dan diolah menjadi instrumen yang hangat dan memikat dalam konser tunggalnya malam itu, yang diberi tajuk "Konser untuk Sahabat 3.0". Aksi tersebut bukan digelar Jubing sebagai penampilan komersial, tapi konser amal.
Konser ini digelar untuk mendukung keberlanjutan pendidikan di Sekolah Hidup Indonesia (SHI), yang secara khusus akan dipergunakan untuk merenovasi ruang kelas, pengembangan program sosial, serta pendampingan guru honorer.
Sedikit informasi, SHI adalah sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada pendidikan karakter. Lembaga tersebut didirikan di Bandung pada 2010. Pendirinya adalah Ananda Buddhisuharto yang sehari-hari berprofesi sebagai guru.
Selama kiprahnya, SHI secara konsisten telah melakukan pendampingan terhadap pengembangan mental dan karakter petugas kebersihan jalan melalui program 3B (Buat Bandung Bersih) yang sudah berjalan sejak 2014 hingga 2020.
Ruang Reuni Jubing dan Ananda
Semarang sengaja dipilih sebagai lokasi penggalangan dana bukan tanpa alasan. Jubing dan Andanda adalah sahabat lama yang lahir dan besar di Kota Lunpia; bahkan mengenyam pendidikan di sekolah yang sama yakni SMP Domenico Savio dan SMA Kolese Loyola. Jadi, konser ini adalah ajang reuni.
Selama dua jam pertunjukan, Jubing Kristianto membawakan 20 lagu dengan aransemen khasnya, termasuk "Becak Fantasy" yang menjadi andalannya. Penonton yang terkesima nggak jarang memberikan tepuk tangan panjang dan melontarkan pujian atas permainan gitar sang maestro.
Seusai konser, Jubing mengaku senang dengan sambutan hangat yang diterimanya di Semarang. Setelah menghela napas lega, lelaki 59 tahun itu menyatakan terkesan dengan suasana penonton yang terasa cair. Menurutnya, ini adalah pengalaman yang jarang dia dapatkan saat menggelar konser.
"Saya happy banget. Biasanya saya tampil serius, formal, apalagi di panggung festival. Namun, kali ini bisa bercanda, saling nyeletuk," ungkap Jubing seusai konser. "Ini sesuatu yang berbeda dan jarang saya rasakan. Mungkin karena separuh penontonnya teman sendiri, jadi benar-benar terasa lebih cair."
Tampil di Depan Teman Sekolah
Malam itu Jubing memang tampak bersuka cita. Sepanjang konser, dia terlarut dalam petikan gitar. Saat bermain, matanya acap terpejam, membiarkan nada-nada mengalir sambil mengabaikan visualisasi panggung dan rasa kikuk lantaran tampil di hadapan mantan kepala sekolah, para guru, serta teman sekolahnya dulu.
Namun, dia nggak benar-benar mengabaikan "konser reuni" ini. Jubing kadang berkelakar, melempar cerita, atau mengajak penonton berinteraksi, salah satunya ketika dia membawakan lagu legendaris "Bohemian Rhapsody" dari grup band kenamaan dunia, Queen.
"Teman-teman tahu ('Bohemian Rhapsody') ini, kan? Lagu yang tidak dibuat untuk gitar. Kompleks karena dinyanyikan oleh band dan punya banyak lapisan suara, mulai dari klasik sampai rock. Campur aduk. Jadi, agak repot dimainkan hanya dengan satu gitar," serunya, yang segera disambut sorak sorai penonton.
Kepiawaian bermusik Jubing benar-benar ditampilkan sepenuhnya dalam konser tersebut. Ananda mengaku sudah bisa memprediksinya. Sebab, ini bukanlah konser pertama yang mereka gelar. Sekitar 15 tahun lalu, konser serupa pernah digelar, dengan lokasi dan tujuan yang sama.
"Konser ini dipersembahkan untuk kegiatan sosial Sekolah Hidup Indonesia yang berbasis di Bandung. Namun, kami berharap nilai dan dampaknya juga bisa dirasakan di Semarang, kota kelahiran saya dan Jubing," kata Ananda.
Untuk Merenovasi Fasilitas Sekolah
Berbicara seusai konser, Ananda mengatakan bahwa hasil yang mereka dapatkan dari konser amal tersebut nantinya akan digunakan untuk merenovasi fasilitas sekolah. Tujuan utamanya adalah untuk membangun ruangan tertutup agar kegiatan lebih bermanfaat dan terstruktur.
Dia mengatakan, SHI bukanlah sekolah formal. Sekolah ini dibuat dengan fokus utama pada pendampingan untuk penguatan mental dan karakter. Para siswanya adalah penyapu jalan, masyarakat marginal, hingga guru honorer, yang kehidupannya kurang stabil.
"Pendampingan diberikan dengan harapan untuk menguatkan mental mereka," terang Ananda. "Dua tahun terakhir kami juga mulai diundang oleh beberapa perusahaan yang merasa perlu melakukan pendampingan atau pembinaan mental dan karakter bagi karyawannya."
Konser amal yang digelar selama dua jam ini pun mendapatkan apresiasi dari sebagian besar penonton. Nggak hanya terkesima oleh penampilan Jubing, alasan konser digelar juga menarik perhatian mereka, salah satunya Arif Nurcahyo, penonton asal Yogyakarta.
Menonton Sosok Inspirator
Arif Nurcahyo telah lama menjadi penggemar Jubing. Lelaki 60 tahun itu mengaku mengenal karya-karya Jubing melalui teman Laksmi, istrinya, dan langsung menyukainya. Laksmi juga alumnus SMA Kolase Loyola Semarang, adik kelas dari Jubing dan Ananda.
Maka, begitu mengetahui bahwa Jubing mengadakan konser tunggal, bersama Laksmi dan anak mereka, dia langsung melesat dari Yogyakarta ke Semarang. Tujuan utamanya adalah untuk mengapresiasi penampilan solo akustik Jubing yang menurutnya sekarang semakin jarang ditemukan di industri hiburan.
Yoyok, demikian dia akrab disapa, kebanyakan menikmati karya-karya sang maestro melalui platform media sosial. Meski musik bersifat universal, menurutnya Jubing selalu mampu mengolahnya menjadi ekspresi yang sangat personal dan menyentuh.
"Jubing memiliki ciri khas yang mudah dikenali dalam setiap penampilannya," sebut pensiunan digital forensik ini. "Saya melihatnya sebagai sosok inspirator alternatif. Banyak tokoh bisa dijadikan anutan, tapi Jubing terasa langka karena telah menekuni bidang ini dengan begitu mendalam."
Kolaborasi yang menarik ya, Gez? Semoga konser tunggal untuk kemanusiaan yang digelar Jubing Kristianto nggak hanya membius penonton, tapi juga menginspirasi kita semua ya! (Sundara/E10)
