BerandaAdventurial
Jumat, 7 Mar 2024 14:00

Merawat Ingatan Buruk Zaman Orba Lewat Film 'Eksil'

Seorang penonton sedang menunggu pemutaran film 'Eksil' di Semarang. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Film Eksil karya Lola Amaria menceritakan tentang para mahasiswa yang dikirim Presiden Sukarno untuk belajar ke luar negeri dan nggak bisa pulang karena nggak sejalan dengan Orde Baru.

Inibaru.id - "Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, di berbagai benua."

Cuplikan puisi ciptaan Chalik Hamid itu membuka film Eksil, sebuah film dokumenter karya Lola Amaria yang digarap sejak 2015 silam. Eksil merupakan film yang berhasil menyabet beberapa penghargaan bergengsi, seperti "Film Dokumenter Panjang Terbaik" dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2023 dan "Best Film" dari Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022.

Eksil secara kolektif mengumpulkan memori 10 para eksil yang diasingkan di luar negeri karena dicap membela Partai Komunis Indonesia (PKI) pada saat Oder Baru berkuasa. Padahal, mulanya mereka adalah para pemuda Indonesia yang mendapatkan beasiswa oleh pemerintah semasa pemerintahan Presiden Sukarno, ke banyak negara seperti Uni Soviet, China, German, Belanda, dan banyak negara lain.

Film ini kali pertama diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada akhir 2022 dan mulai tayang secara resmi di bioskop pada 1 Februari 2024. Sayangnya, Film Eksil nggak tayang di beberapa bioskop kebanyakan. Di Kota Semarang pun, nobar Film Eksil diinisiasi oleh perseorangan dan komunitas yang masih aware akan isu dan memori kelam zaman Orde Baru.

Beruntungnya, saya kebagian tiket untuk nobar film Eksil pada akhir bulan Februari lalu. Memasuki ruang pemutaran film, hampir seluruh kursi penuh oleh anak muda dan para orang tua yang sudah nggak sabar menonton film berdurasi dua jam ini.

"Eksil" bukanlah kata yang baru saya dengar. Pengalaman menonton Film Surat dari Praha (2016), memberikan saya gambaran dan apa istilah eksil. Di film ini pula, saya mengetahui dengan jelas, benar-benar ada orang Indonesia di luar negeri, bukan sebagai pelancong ataupun bekerja sebagai pahlawan devisa, namun sebagai diaspora yang diasingkan.

Saya menilai, film Eksil mengungkap kenyataan mengenai pergantian rezim yang mengorbankan rakyat dan sarat akan perjuangan berlumuran darah; tentang penolakan dan teror dari negara kepada rakyatnya sendiri. Orde Baru sukses membunuh satu generasi penerus pembangunan yang seharusnya bisa pulang ke Indonesia. Apa yang terjadi? Mereka dicekal, nggak bisa membangun negara dan meneruskan perjuangan bangsa, hanya karena nggak sejalan dengan penguasa.

Eksil dari Berbagai Negara

Asahan Aidit, adik bungsu D. N. Aidit yang tinggal di Belanda, tengah mencoba biola lama milik anaknya. (Arsip Lola Amaria Pictures, Kompas.id)

Sukarno mengirim banyak putra-putri terbaik bangsa ke berbagai negara dengan harapan mereka kembali untuk membangun bangsa. Menurut mereka, para eksil memiliki kecintaan tinggi terhadap Tanah Air, bukan hanya kepada lambang negara, melainkan jauh melampaui itu.

Sepuluh di antaranya menjadi narasumber dalam film Eksil dan masing-masing memiliki cerita. Sarmadji, salah seorang eksil mencintai negaranya dengan rajin mengarsipkan berkas dan buku tentang sejarah Indonesia. Ada beberapa buku yang sempat dilarang pada masa Order Baru. Dia juga menyimpan banyak obituari tentang para eksil yang sudah mangkat sebelumnya.

Selain itu, ada Asahan Aidit, adik dari Sekertaris Jenderal PKI, DN Aidit. Asahan sempat pulang ke Indonesia lantas diintervensi oleh aparat. Sedangkan Waruno Mahdi, seorang yang beberapa kali berganti pacar, namun kemudian diketahui pacarnya justru memata-matai dirinya.

Bagi saya, menonton mereka bercerita seperti melihat seorang kakek bercerita kepada cucu-cucunya, termasuk saya. Ada kisah sedih, haru, bangga, kecewa, bahkan lucu. Semua cerita menarik untuk disimak dan diambil pelajaran.

Orde Baru Benci Kritik

Hartoni Ubes, eksil yang tinggal di Ceko yang telah berpindah kewarganegaraan karena nggak ada kepastian dari pemerintah terhadap nasib para eksil. (Arsip Lola Amaria Pictures, Kompas.id)

Yang saya tahu, para eksil dikirim oleh Indonesia untuk menempuh pendidikan lanjutan. Ilmu yang mereka pelajari sudah sepatutnya akan dikontribusikan untuk pembangunan Indonesia. Ada yang belajar Ilmu Kimia, Pendidikan Anak di Luar Bangku Sekolah, Ekonomi, dan banyak lagi. Tapi kebencian terhadap PKI dan Sukarno menghasilkan rezim baru.

Imbas dari keadaan itu, mahasiswa yang masih kokoh dengan pendiriannya dicabut hak kewarganegaraannya, lantaran menolak mengkhianati Presiden Sukarno yang sudah mengutus mereka. Perdebatan antar-mahasiwa terjadi, berubah menjadi dua kubu.

Dari berbagai bacaan dan sumber, saya tahu bahwa Orde Baru merupakan rezim yang antikritik. Mereka mencekal banyak buku karya sastra dan seni yang dianggap berkaitan dengan kepercayaan "kiri". Alih-alih mendukung ilmu, budaya, dan seni, mereka malah menelantarkan dan membuang para mahasiswa itu begitu saja.

Hampir di akhir film, saya mendengar suara sesenggukan di bangku depan dan belakang. Di titik itu pula Kartaprawira, salah seorang narasumber Eksil mengatakan, "Oder Baru itu masih ada, hanya berganti jas."

Saya yang lahir tepat di masa selesainya Orde Baru semakin bertanya, masih adakah kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa itu bagi para eksil ini? (Kharisma Ghana Tawakal/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024