Inibaru.id – Di balik keteduhan kompleks Dalem Kabupaten Jepara, berdiri sebuah rumah tua yang menyimpan lebih dari sekadar artefak sejarah. Di ruang-ruang senyap inilah jejak langkah para pemikir muda Jawa pernah bergema di penghujung abad ke-19.
Menurut peneliti Kartini sekaligus storyteller di Museum Kartini Jepara, Susi Ernawati, rumah ini bukan hanya tempat tinggal keluarga bangsawan, melainkan juga “ruang kerja gagasan”; tempat ide-ide tentang keadilan dan kemajuan pernah hidup, tumbuh, dan berdebat.
Saat memandu tur kecil di Museum Kartini beberapa waktu lalu, Susi menelusuri setiap ruang bukan sebagai lokasi pasif, melainkan node intelektual yang membentuk karakter dan cara pandang keluarga Sosroningrat.
“Kalau mau memahami Kartini, kita harus memahami ruang-ruang di mana ia tumbuh,” ujarnya.
Menurut Susi, Jepara pada akhir abad ke-19 adalah kota pelabuhan yang dinamis. Perdagangan dan perjumpaan antara Eropa-Jawa membuatnya lebih maju dibanding kota kabupaten lain.
“Lingkungan seperti itu yang dilihat Kartini sejak kecil, yang belajar bahwa dunia itu lebih luas dari halaman rumah, dan perubahan selalu mungkin,” kata Susi menggebu-gebu.
Museum Kartini di Jepara secara resmi diresmikan oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, pada Sabtu malam, 15 November 2025. Museum ini berlokasi di kompleks Pendopo Kabupaten Jepara, yang memang memiliki nilai sejarah karena pernah menjadi tempat tinggal RA Kartini.
“Ada lima ruangan yang bisa kita jelajahi di museum ini. Ruang pertama menjelaskan Jepara lama; ruang kedua, ruang tentang keluarga Sosroningrat; sedangkan ruang ketiga adalah karya dan peran,” jelas Susi mengawali tur.
Sementara itu, dia melanjutkan, ruang keempat merupakan ruang karya dan peran serta ruang intelektual. Adapun untuk ruang kelima adalah serambi belakang (batik dan sekolah).
“Intinya, rumah intelektual. Rumah yang melahirkan sosok-sosok hebat dalam berliterasi sehingga bisa mengubah dunia,” kata Susi.
Jepara menjadi ruang pertama yang dijelaskan Susi sebagai kesadaran akan dunia luar, sebuah fondasi yang kelak memberi bentuk pada kerinduan Kartini terhadap pendidikan, kebebasan berpikir, dan kemajuan perempuan.
Di ruang keluarga terpajang sebuah foto yang jarang disebut dalam narasi resmi: Mas Adjeng Ngasirah, istri pertama Bupati Sosroningrat sekaligus ibu kandung Kartini.
“Ini perempuan yang sering luput dalam cerita besar,” ucap Susi sambil menunjuk foto itu.
Ngasirah, putri pasangan Kyai Modirono dan Nyai Hajjah Siti Aminah, adalah ibu dari empat putra dan empat putri. Dalam rumah tangga yang diawasi istri padmi, Ngasirah tetap hadir sebagai pusat moral, hangat, religius, dan ulet.
Di ruang sederhana inilah tiga perempuan muda terpelajar membaca surat kabar Belanda, membahas isu kolonial, menulis esai, dan saling mengkritik gagasan. Mereka menciptakan apa yang disebut intellectual household. Tidak banyak rumah bangsawan Jawa yang punya dinamika seperti ini.
Dari ruangan itu pula lahir tulisan-tulisan awal Kartini yang dimuat di De Echo, jauh sebelum dia dikenal lewat Habis Gelap Terbitlah Terang. Beberapa judul yang Susi sebutkan, yakni Het Huwelijk bij de Kodjas dan Een Oorlogsschip op de Ree, menunjukkan upaya Kartini muda melatih nalar kritisnya.
Ruang terakhir yang dikunjungi adalah serambi belakang, sebuah bagian rumah yang tampak paling sederhana. Namun, justru di sinilah, menurut Susi, ide-ide Kartini bertemu langsung dengan pengalaman hidup perempuan Jepara.
Di serambi inilah foto-foto untuk artikel Het Blauw Verfen diambil, yang kemudian menjadi bagian penting dalam buku klasik De Batik Kunst in Nederlandsch-Indië. Namun, bagi Susi, nilai ruang ini lebih dari sekadar latar foto.
“Serambi belakang sampai regol (pintu gerbang) dulu adalah ruang belajar, ruang bekerja, ruang perempuan berkumpul, bahkan ruang produksi batik. Kartini melihat kerja para perempuan, mendengar cerita mereka, memahami beban sosial yang mereka tanggung,” jelas Susi.
Dari ruang sederhana inilah gagasan Kartini tentang pendidikan, kemandirian, dan pemberdayaan perempuan semakin terasah.
Dia mengingatkan bahwa api intelektual nggak padam setelah Kartini wafat. Roekmini, Kardinah, dan Soematri meneruskan estafet gagasan, salah satunya lewat tulisan mereka Panggilan untuk Jong Java.
“Gagasan tidak mati. Ia hanya menunggu untuk didengarkan lagi,” tutup Susi, masih dengan gaya bicaranya yang khas.
Kini, museum ini berdiri bukan hanya sebagai destinasi sejarah, tetapi juga pengingat, bahwa perubahan besar sering lahir dari ruang-ruang kecil yang sunyi, tempat pikiran bekerja diam-diam.
Kalau ke Jepara, mainlah ke Museum RA Kartini dan rasakan sendiri sensasi menggelegak dari api intelektual yang nggak pernah paham di rumah tersebut. (Imam Khanafi/E10)
