BerandaAdventurial
Jumat, 28 Nov 2025 13:42

Gong Senen di Museum Kartini Jepara, Keindahan yang Memanggil Ingatan

Penulis:

Gong Senen di Museum Kartini Jepara, Keindahan yang Memanggil IngatanImam Khanafi
Gong Senen di Museum Kartini Jepara, Keindahan yang Memanggil Ingatan

Susi Enawati sedang menjelaskan tentang Gong Senen ke anak-anak yang berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Melangkah masuk ke Pendopo Kabupaten Jepara yang kini menjadi Museum R.A. Kartini, ada Gong Senen, artefak berukir yang menjadi daya tarik para pengunjung.

Inibaru.id – Pagi itu, belum lama ini, saat melangkah masuk ke Pendopo Kabupaten Jepara yang kini menjadi Museum R.A. Kartini, saya merasa seperti berjalan ke dalam ruang yang familiar tapi asing; yang menyimpan jejak masa lalu sekaligus memanggil rasa ingin tahu yang paling awal dalam diri.

Terlihat Susi Enawati, penulis sejarah dari Jepara yang akrab dengan ide-ide RA Kartini sedang berdiri di depan gong besar yang memantulkan cahaya kuning temaram. Suaranya lembut, tapi gaya bicaranya tegas; mendengung nyaring di tengah puluhan anak SD yang mengerumuninya.

Sementara sebagian siswa khusyuk mendengarkan, sebagian lainnya bergerak lincah ke sana ke mari.Namun, dengan penuh ketekunan, Susi menjelaskan satu per satu benda-benda yang dipamerkan di museum. Lalu, wajah-wajah mungil di sekitarnya itu pun segera menatapnya lekat-lekat, mulai dari diorama kapal tua, peta Jepara masa kolonial, dan benda-benda yang menyimpan jejak panjang sejarah kota pesisir ini.

Menurut saya, museum yang baru diresmikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon tersebut menarik karena sejarah nggak hanya ditampilkan, tapi dituturkan kembali. Susi, dengan gestur sederhana, termasuk yang membuat ruang "arsip" itu hidup.

Gong Senen sebagai Primadona

Seorang siswa SMA memandang Gong Senen saat berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)
Seorang siswa SMA memandang Gong Senen saat berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)

Setiap anak yang berjalan pelan di antara pilar jati raksasa seperti sedang membuka halaman baru dari sebuah buku yang pernah ditulis oleh keberanian. Di antara banyaknya "artefak" yang ditinggalkan, ada satu benda yang hampir selalu membuat pengunjung berhenti, yakni Gong Senen.

Ia berdiri di ruang pertama, setinggi manusia dewasa, dengan gayor (rangka gong) berukir yang begitu rumit hingga terlihat hidup. Cahaya lampu menyorotinya dari bawah, memunculkan bayangan lekuk naga, bunga, dan figur manusia yang berpadu dalam satu tubuh ukiran.

Pada dinding bagian samping Gong Senen, terpahat pepatah Jawa yang kerap dibisikkan para tetua, yang secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti: Dari tiada menjadi ada, dan dari yang ada menghadirkan kehidupan.

Pepatah itu seolah menjadi napas dari Gong Senen, benda pusaka yang tak hanya dibentuk, tetapi juga disematkan ruh narasi oleh para Bupati Jepara, Tjitrosoma I dan II.

Anak-anak yang terpukau dengan Gong Senen saat berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)
Anak-anak yang terpukau dengan Gong Senen saat berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)

Gayornya adalah kitab terbuka. Setiap ukiran memiliki perhitungan. Setiap jumlah ornamen adalah tafsir. Pada dua tiang gayor itu berdiri figur Kyai Sentono dan Tunggul Wulung, dua tokoh yang dipercaya sebagai penjaga sekaligus penafsir hikmah.

Mereka dipahatkan seakan tengah menyangga perjalanan manusia: dari asal usul, perjalanan hidup, hingga perjuangan menegakkan keyakinan. Lalu, pada bagian atas, seekor naga besar tampak meliuk melingkari gong, menjadi lambang perlindungan dan kekuatan.

Disebut Gong Senen karena semasa Kartini dipingit di bangunan mewah tersebut gong ini dibunyikan tiap Senin. Dentangnya menjadi penanda ritme pekan; jadi bukan hanya bunyi-bunyian, tapi gema dari kehidupan masyarakat Jepara kala itu. Tradisi, kosmologi, dan harapan bertemu dalam sekali dentang.

Saat melihat anak-anak itu berdiri terpaku memandangi gong tua tersebut, saya membayangkan waktu seakan kembali berjalan pelan. Suasana pendopo menjadi hening, tapi bukan dalam artian kosong, melainkan penuh ingatan.

Rumah yang Melahirkan Gagasan

Seorang pegawai Pemkab Jepara sedang mengabadikan Gong Senen saat berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)
Seorang pegawai Pemkab Jepara sedang mengabadikan Gong Senen saat berkunjung ke Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)

Museum ini bukan sekadar ruang pamer. Ia adalah rumah gagasan, tempat tiga perempuan Jawa muda yang dipingit yaitu Kartini bersama kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, justru berhasil mengolah pikiran mereka dalam kesunyian.

Sedikit informasi, tiga perempuan keturunan priyayi tinggi itu dipingit sekitar tahun 1895. Dipingit setelah menyelesaikan studi pada 1892, Kartini memutuskan tinggal sekamar bersama kedua adiknya di bekas kamar RA Soelastri, kakaknya, yang lebih luas, yang pindah ke Kendal setelah menikah dengan Raden Ngabehi Tjokroadisosro.

Bagi sejarawan, itu bukan sekadar catatan domestik. tapi momen lahirnya sebuah intellectual household yang memadukan bacaan Eropa, realitas Jawa, dan kepekaan terhadap ketidakadilan kolonial.

Di ruang kecil itu, gagasan bekerja. Pelan, tekun, tanpa hiruk pikuk. Kartini tidak memulainya sebagai ikon, tapi pembaca yang sabar dan penulis yang teliti. Melalui tulisan-tulisan awal seperti "Het Huwelijk bij de Kodjas” dan “Een Oorlogsschip op de Ree” yang terbit di De Echo, kita melihat seorang pemikir muda yang sedang membangun bahasanya sendiri.

Ketegangan antara adat dan modernitas pertama-tama tumbuh di rumah. Di antara buku-buku, surat-surat, dan percakapan mereka sebagai Tiga Saudara.

Salah satu ruangan di Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)
Salah satu ruangan di Museum R.A Kartini yang menempati Pendopo Kabupaten Jepara. (Imam Khanafi/*)

Setelah Kartini wafat, seakan ada kekhawatiran api itu padam. Namun, Roekmini, Kardinah, dan Soematri (adik kandung Kartini) melanjutkan napas itu melalui tulisan “Panggilan untuk Jong Java”. Pemikiran yang lahir dari ruang domestik itu akhirnya menjelma menjadi gerakan sosial yang jauh lebih luas.

Dan, Museum R.A. Kartini yang berdiri di jantung kota Jepara, yang diresmikan pada 15 November 2025 lalu tersebut, adalah pengingat bahwa gagasan nggak pernah mati. Ia sekadar menunggu ruang untuk kembali bersuara.

Di antara riuh suara anak-anak, gong yang nggak lagi terdengar dentangnya, dan cerita yang dituturkan Susi, museum ini menjelma menjadi tempat di mana masa lalu nggak terasa jauh. Kartini bukan hadir sebagai patung atau simbol, tapi sosok penyuka buku, penulis, dan pemikir yang jasanya nggak ternilai.

Museum ini adalah upaya Jepara untuk menyalakan kembali ingatan itu. Pendopo yang dulu menjadi ruang belajar masyarakat kini kembali menjalankan fungsi edukatifnya: mempertemukan generasi baru dengan jejak seorang perempuan yang menulis masa depan bangsanya dari sebuah "penjara" yang membebaskannya.

Hari ini, museum itu memanggil saya. Ia mengajak saya dan puluhan pengunjung yang datang mendengarkan kembali dentang gagasan yang pernah bekerja. Pelan, tekun, dan perlahan menentukan arah bangsa. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved