Inibaru.id – Semenjak seminggu yang lalu, saya memang sudah mulai menyadari keberadaan bunga kopi yang mulai mekar. Persis di samping makam Desa Jubelan, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, kebun kopi mulai menunjukkan warna yang kontras dari biasanya. Meski begitu, aroma khas bunga kopi yang biasanya sangat kuat masih belum tercium.
Menurut keterangan salah seorang warga setempat, Afif, pada Mongso Karo dalam Pranoto Mongso alias Kalender Musim Jawa, bunga kopi akan bermekaran di sana.
“Mongso karo, antara Agustus-September, biasanya bunga kopi mekar,” ucapnya pada Selasa (17/9/2024).
Meski warga desa tersebut sudah jarang yang mengurus kopi dan membiarkan banyak kebun-kebun kopi di sana terbengkalai karena terlalu sibuk mengurus ladang sayur, mereka tahu kalau pada saat Mongso Karo alias puncak musim kemarau mulai berakhir, aroma bunga kopi yang semerbak bakal sering tercium di ladang-ladang yang dekat dengan kebun kopi.
Hal inilah yang kemudian saya alami sendiri tatkala akan menggiling padi di Desa Kalibanger. Saat memakai sepeda motor melewati jalan tembus di antara kebun kopi pada Rabu (18/9), terlihat jelas bunga kopi yang berwarna putih menghiasi kebun kopi yang dominan dengan warna hijau tua.
Nggak hanya membuat pemandangan kebun kopi tersebut jadi cantik, aroma bunga kopi yang khas begitu kuat sampai membuat saya memilih untuk menghentikan laju sepeda motor dan mematikan mesin. Sejenak, saya menikmati aroma dan pemandangan yang biasanya hanya ada beberapa pekan dalam setahun ini sebelum kembali melaju ke tempat penggilingan padi.
Di tempat tujuan saya, sembari menunggu padi yang saya bawa berubah menjadi beras, saya bertemu dengan Sutoyo, warga Desa Kalibanger. Dia membawa sewadah biji kopi yang sudah dipanen beberapa bulan sebelumnya. Biji kopi yang sudah dijemur ini juga dia giling di tempat tersebut untuk kemudian dijual ke tengkulak.
“Kalau kopi yang sudah dijemur dan digiling, bisa saya jual sampai Rp50 ribu, Rp60 ribu, kadang lebih per kilogramnya. Kalau saya jual langsung berupa biji yang dipanen dari pohon, paling Rp15 ribu atau Rp20 ribuan saja per kilogram,” ceritanya.
Sutoyo hanyalah salah seorang dari sedikit petani yang masih mau merawat pohon kopi di Sumowono, Jawa Tengah. Padahal, semenjak diperkenalkan orang Belanda bernama Grass Valk pada 1904, kopi sempat jadi salah satu komoditas andalan di lereng selatan Gunung Ungaran. Sayangnya, sejak 1987, petani di Sumowono beralih fokus ke sayuran yang mampu memberikan hasil lebih menjanjikan dengan masa tanam yang jauh lebih pendek.
“Hasil kopi yang saya jual sebagai penambah pendapatan untuk keperluan sehari-hari. Kalau jadi pendapatan utama nggak cocok,” terang Sutoyo.
Yang pasti, layaknya saya, Sutoyo juga mengakui suka menghirup aroma bunga kopi yang mekar dalam sepekan belakangan. Apalagi, saat ada keperluan ke Bedono, Kabupaten Semarang, dia pasti melewati jalan yang di sisi kiri dan kanannya adalah kebun kopi.
“Enak banget itu, mas. Orang-orang kan kebanyakan suka aroma kopinya kalau sudah diseduh. Padahal, aroma bunga kopinya nggak kalah mantap,” pungkasnya sembari pulang membawa kopi yang sudah digiling.
Di jalan pulang, saya sengaja kembali melewati kebun kopi seperti sebelumnya. Di sana, kembali sejenak saya berhenti untuk menikmati aroma yang yang mungkin baru bisa muncul lagi setahun ke depan. (Arie Widodo/E10)