BerandaAdventurial
Rabu, 23 Jul 2019 13:30

Menengok Kampung Pembuat Dolanan Tradisional di Jepara

Menengok Kampung Pembuat Dolanan Tradisional di Jepara

Inayah (70) sedang membuat mainan tradisional jenis othok-othok, di Desa Karanganyar, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara. (Inibaru.id/ Pranoto)

Meski terlihat sederhana dan kurang menjanjikan keuntungan yang menggunung, di kampung ini, 75 persen warganya menggantungkan hidupnya pada keterampilan membuat dolanan tradisional itu.

Inibaru.id - Inayah terlihat sibuk merangkai othok-othok. Tangannya yang keriput terlihat lincah melilitkan karet, dengan pemukul kecil dari batang bambu.

Sejurus kemudian, perempuan sepuh asal Desa Karanganyar ini mencobanya. Bila sudah berbunyi, othok...othok...othok... Dia lantas menumpukkannya di sisi kanan kiri. Dia mengaku, sudah sejak muda dia membuat dolanan. Hanya, dulu dia membuat mainan berbentuk kuda kepang, yang terbuat dari anyaman bambu.

Seiring berkembangnya waktu, dia kemudian membuat dolanan dari bahan gabus berbagai warna. Di antaranya othok-othok. Bagi yang nggak tahu, othok-othok adalah dolanan yang dibikin dari kaleng bekas yang kemudian diberi pemukul kecil dari kayu yang dililitkan karet gelang. Untuk memainkannya, tinggal dorong gagang yang dibuat dari bambu panjang.

Alhasil, othok-othok itu menghasilkan bunyi nyaring, thok...thok...thok...thok...


Dolanan tradisional jenis lele-lelenan yang diproduksi oleh warga Desa Karanganyar, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara. (Inibaru.id/ Pranoto)

"Dulu saya membuat jaran kepang (kuda kepang) dari bambu yang kemudian disayat-sayat jadi gedhek kepang. Namun sekarang, saya bantu-bantu anak membuat mainan ini (othok-othok)," ujarnya, akhir pekan kemarin.

Sunadi, Ketua Paguyuban Kampung Dolanan Desa Karanganyar mengatakan, kampungnya kondang sebagai penghasil mainan sejak tahun 1980. Bukan hanya itu, di masa jayanya, beberapa perajin sempat mukim di luar negeri untuk berjualan dolanan produk kampung itu.

Dia bercerita, mulanya pekerjaan membuat dolanan hanya dilakukan sepintas lalu. Pekerjaan utama para warga hanya bertani. Lantas, ada warga yang dulunya merantau kemudian kembali ke desa dan menularkan kebisaan membuat dolanan kepada warga lain.

"Kalau di kampung ini awalnya membuat jaran kepang, sekitar tahun 1950. Nah kemudian di tahun 1980 warga mengembangkan kemampuan membuat dolanan dari bahan spon (sponge : gabus). Jadilah bermacam-macam dolanan. Mulai dari kitiran, lele-lelenan, boneka dan sebagainya," ungkap Sunadi.

Di tahun 1990, hingga awal 2000 banyak warga Desa Karanganyar yang mengadu nasib hingga ke Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Tujuannya satu, berjualan dolanan.

Seperti yang dikatakan Solikhin. Dia mengaku pernah berjualan hingga Malaysia, untuk berjualan mainan dari gabus. Peminatnya pun banyak.

"Pas saya muda, pernah sampai Malaysia. Awalnya dulu jualan di Sumatera, terus ada yang menyarankan ke sana (Negeri Jiran) ya sudah saya coba saja jualan, eh laku juga," paparnya.

Dia mengatakan, saat ini nggak banyak yang berjualan dolanan hingga ke luar negeri. Lantaran, permintaan dari dalam negeri sudah membeludak.

Seperti usai lebaran tahun ini, dari rerata pesanan 4.000 buah sebulan, bisa naik menjadi 6.000 buah perbulan. Itu hanya untuk pasar dalam negeri saja. Mulai dari Sumatera sampai Papua.

Harga jual mainan-mainan, produk Desa Karanganyar berkisar antara Rp 1.500 sampai dengan Rp 10.000, bergantung pada ukurannya. Akan tetapi, harga itu bisa melonjak, jika sudah sampai di luar Jawa.

Nah, sudah tahu kan mainan masa kecilmu dibuat di mana? (Pranoto/E05) 

 
 

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ganti Karangan Bunga dengan Tanaman Hidup, Imbauan Bupati Temanggung Terpilih

19 Feb 2025

Perjalanan Kasus Korupsi Wali Kota Semarang sebelum Resmi Jadi Tersangka KPK

20 Feb 2025

Tiongkok Buka Lowongan 'Pasukan Pertahanan Planet': Cegah Asteroid Hantam Bumi

20 Feb 2025

Mudik Gasik, Kebiasaan Unik Warga Kampung Satai di Boyolali Sambut Sadranan

20 Feb 2025

Operasi Pasar GPM Digelar Pemerintah Jelang dan Selama Ramadan 2025

20 Feb 2025

'Kabur Aja Dulu' adalah Autokritik untuk Kebijakan yang Lebih Baik

20 Feb 2025

Profil Sukatani, Band Purbalingga yang Tarik Lagu karena Dianggap Singgung Polisi

21 Feb 2025

Tidak Ada Lagi Subsidi BBM pada 2027, Klaim Luhut Binsar Pandjaitan

21 Feb 2025

Mengapa Huruf N pada Tulisan Nutella Berwarna Hitam?

21 Feb 2025

Polda Jateng Gelar Ramp Check di Mangkang: Uji Emisi dan Cek Fasilitas Keselamatan

21 Feb 2025

Di Masjid Sheikh Zayed Solo Kamu juga Bisa Cari Jodoh!

21 Feb 2025

Serunya Menonton Pesawat Lepas Landas dan Mendarat di Gardu Pandang YIA Kulon Progo

21 Feb 2025

UMKM Perlu Prioritaskan Pajak dan Legalitas untuk Hindari Risiko Kerugian

21 Feb 2025

Faceless Content: Solusi bagi Introvert yang Ingin Menjadi Kreator

21 Feb 2025

Sejarah Kode ACAB yang Kembali Populer setelah Klarifikasi Sukatani

22 Feb 2025

Viral Band Sukatani Minta Maaf dan Tarik Lagu, Polda Jateng Klaim Menghargai Kebebasan Berekspresi

22 Feb 2025

Warteg Warmo, Lokasi yang Jadi Inspirasi Lagu 'Begadang' Rhoma Irama

22 Feb 2025

Memahami Rasa Trauma dan Duka Mendalam lewat Film 'The Graduates'

22 Feb 2025

Sejarah Nama Kawasan Kalibanteng di Kota Semarang

22 Feb 2025

Janji Bupati; Rembang Fokus Tingkatkan Layanan Kesehatan, Kendal Lanjutkan Pembangunan

22 Feb 2025