BerandaAdventurial
Minggu, 9 Mei 2020 09:27

Berkunjung ke Desa Jatirejo, Sentra Pengolahan Kolang-Kaling di Kota Semarang

Royan(kiri) perajin kolang-kaling di Desa Jatirejo, Gunung Pati. (Inibaru.id/ Audrian F)

Semenjak 2017, Desa Jatirejo didapuk menjadi kampung tematik pembuatan kolang-kaling. Awalnya, ada sekitar 50 rumah produksi. Namun lambat laun jumlah ini semakin surut. Bahkan saat saya berkunjung, hanya tinggal 3 rumah yang sedang membuat kolang-kaling.<br>

Inibaru.id - Kolang-kaling adalah salah satu makanan yang mudah ditemui di bulan Ramadan. Biasanya, kolang-kolang hadir bersama dengan kolak. Nah, di Semarang ternyata ada satu kampung yang telah lama menjadi sentra perajin kolang-kaling. Kampung ini ada di Jatirejo, Gunung Pati.

Sejak tahun 2017, Pemkot Semarang memang sudah menyulap Desa Jatirejo menjadi kampung tematik kolang-kaling atau yang disingkat dengan “Kaloka”. Saya pun menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana.

Begitu tiba, saya sudah mendapati dua rumah yang berisi sejumlah warga yang sedang mengolah kolang-kaling. Tampak sekawanan ibu rumah tangga sedang menggepengkan kolang-kaling dengan sebuah kayu yang berbentuk barbel.

Pembuatan kolang-kaling yang digerakan oleh warga Desa Jatirejo, Gunung Pati, Kota Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Namun, produksi kolang kaling ini tampaknya sudah dalam bentuk matang. Padahal saya ingin melihat prosesnya sejak masih dalam bentuk buah aren. Akhirnya, salah seorang warga mengarahkan saya ke rumah produksi lain yang masih dalam bentuk buah aren.

Saya kemudian menemui Royan. Dia dibantu oleh beberapa ibu-ibu tampak sedang sibuk mengolah buah aren. Masing-masing punya tugas. Ada yang memisahkan kolang-kaling dari tangkai, merebus, hingga mengupas kulit aren untuk diambil kolang-kalingnya.

“Saya mungkin sudah lebih dari 20 tahun produksi kolang-kaling,” kata Royan.

Kata Royan, karyawan pembuatan kolang-kaling semuanya berasal dari Desa Jatirejo. Nggak ada yang memakai tenaga dari desa lainnya.

Rumah produksi kolang-kaling di Desa Jatirejo kini sudah mulai berkurang. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Bertahun-tahun lalu, jumlah rumah produksi kolang-kaling di Desa Jatirejo cukup banyak. Mungkin sekitar 50-an. Namun setiap tahun jumlahnya terus menyusut hingga kini hanya menyisakan 3 rumah saja.

“Sudah pada pindah profesi. Lagipula kolang-kaling juga nggak menentu,” tambahnya.

Awalnya, kolang-kaling yang diolah di Desa Jatisari berasal dari buah aren yang berada di sekitar desa. Namun, lambat laun, jumlah buah aren nggak mencukupi pesanan. Sayangnya, jumlah pohon aren juga semakin berkurang.

Alhasil, banyak rumah-rumah produksi yang kini harus membeli bahan kolang-kaling dari daerah lain seperti Wonosobo, Temanggung, dan Pekalongan. Bahan yang dibeli bukan lagi berbentuk buah aren, namun sudah berbentuk kolang-kaling. Royan merupakan satu-satunya warga yang masih memesan dalam bentuk buah aren.

Rupiase, pemilik salah satu rumah produksi mengungkapkan jika alasan mengapa kini nggak mau memesan buah aren adalah proses pengolahannya yang cukup lama dan ribet.

“Mahal sedikit nggak masalah tapi pengolahannya lebih simpel. Kami tinggal menggepengkan saja,” jelasnya.

Meskipun ada yang beli dalam bentuk biji aren, namun kolang-kaling tetap diolah dengan cara manual. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Sayangnya, meski harganya lebih mahal, nggak ada jaminan kolang-kaling yang dipesan berkualitas. Penyuplai hanya menjual dalam bentuk paket ton-tonan kolang-kaling yang nggak dicek kualitasnya.

Setiap kilogram kolang-kaling yang diolah di Desa Jatisari dihargai Rp 13 ribu. Hanya, kebanyakan pembeli nggak mengambil dalam bentuk kiloan, melainkan per karung. Para pembeli ini biasanya adalah pedagang di pasar-pasar Kota Semarang.

Sebenarnya, selain produksi kolang-kaling, Desa Jatirejo juga memiliki daya tarik lainnya seperti lokasi untuk river tubing, bumi perkemahan, serta beberapa homestay. Berniat main ke sana nggak nih, Millens? (Audrian F/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024