Inibaru.id - Fatikhatun Nikmah tengah berada di kamar kosnya. Di hadapannya sebuah laptop menyala berada di atas meja kecil. Sesekali dia melihat jam digital pada layar laptop. Dia pengin memastikan belum terlambat mengikuti prosesi wisuda online.
Yap, perempuan yang akrab dipanggil Fatma ini termasuk salah seorang calon wisudawan periode 158 yang diadakan Universitas Diponegoro. Dia berasal dari jurusan Sastra Indonesia. O ya, biarpun acara diadakan secara streaming, Fatma tetap dandan. Dia mau terlihat cantik pada hari istimewanya.
Fatma memakai setelah hitam putih, dress code yang diminta panitia wisuda. Tangannya sibuk mengusap wajah dengan spon bedak. Selempang bertuliskan cumlaude juga dikenakannya.
“Nggak apa-apa, biar bisa bikin instasory,” ucapnya sambil terkekeh, Kamis (18/6).
Fatma tersenyum melihat penampilannya yang paripurna. Sekarang dia percaya diri mengikuti streaming. Di tengah keseriusannya menyimak wisuda daring, Fatma mengaku sedih. Sungguh bukan prosesi wisuda seperti ini yang dia impikan selama kuliah.
Memang, meniadakan keramaian merupakan jalan terbaik. Tapi seperti masih ada yang mengganjal. Iri rasanya pada kampus Unnes yang wisudawannya tetap menggunakan toga meski sama-sama daring.
Karena nggak jadi memakai toga, Undip mengembalikan biaya sewa kepada seluruh wisudawan. Masing-masing menerima uang Rp 200 ribu ditambah Rp 100 ribu untuk membeli kuota. "Uang saku" untuk beli kuota ini dibagikan merata meski calon wisudawan nggak ikut streaming. Halal saja kalau mau dipakai beli barang lain.
“Ngenes banget. Masa nggak pakai toga begini. Padahal aku udah lama ngidam,” ucap perempuan yang kini resmi menyandang titel Sarjana Sastra ini.
Saya paham kenapa perempuan asal Kendal ini sambat. Bagi sebagian orang, wisuda merupakan momen unjuk pencapaian kepada semua orang. Dia pengin memperlihatkan bahwa dia sudah berhasil bertahan dan lulus dari universitas.
Nggak ingin ikut hanyut dalam emosi, saya berusaha menenangkannya. Saya pikir dia harus bersyukur karena sudah wisuda. Kalau saya entah kapan bisa menyusul.
Habis dari Fatma, saya bergeser ke Dinna Islamiati. Jurusannya sama dengan Fatma yaitu Sastra Indonesia. Meski dapat jatah uang untuk beli kuota, Dinna memilih numpang wifi-an di kos temanya. Sendirian, dia menyimak wisuda daring ini.
Saya lihat Dinna lebih "cuek" dandanannya. Dia merasa nggak perlu menggunakan selempang segala. Menurutnya, kalaupun dipakai nggak berpengaruh apa-apa. Nggak ada yang melihat. Kocak sih tapi masuk akal.
“Jadi begini doang wisuda daring?” ujar Dinna dengan nada sinis.
Mungkin bagi Dinna, wisuda hanya semacam pemanis tambahan. Lagipula, orang tuanya nggak terlalu ambil pusing. Lagi pandemi, yang penting lulus. Begitu kata mereka pada Dinna. Ditambah, Dinna sudah diterima bekerja menjadi pegawai provider. Jadi, dia nggak punya alasan untuk sentimentil. He
Beda halnya seperti teman saya yang dari jurusan Ilmu Komunikasi Undip yakni Mahardika Indra Pratama. Dia rela meninggalkan pekerjaannya di Semarang hanya untuk mengikuti wisuda daring di rumah bersama orang tuanya di Pekalongan.
Sebetulnya Indra juga kecewa. Baginya, sistem daring menghilangkan nilai kesakralan tradisi wisuda. Karena itu, dia nggak menyimak prosesi lengkapnya.
“Penginnya orang tua lihat aku wisuda karena sudah menyekolahkan bertahun-tahun,” pungkasnya.
Hm, jadi begitu ya perasaan mereka soal wisuda daringnya. Kalau kamu pilih wisuda daring apa luring, Millens? (Audrian F/E05)