BerandaTradisinesia
Sabtu, 24 Okt 2025 15:01

Wayang Klitik Wonosoco: Berbahan Kayu Jati, Bercerita tentang 'Babad Tanah Jawa'

Seperangkat wayang klitik yang tersimpan di balai desa. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Bukan dari kulit, wayang klitik di Desa Wonosoco, Kabupaten Kudus, terbuat dari lembaran kayu jati yang dipahat dengan teliti, menjadi bagian dari ritual bersih sendang yang diyakini telah berusia ratusan tahun dan masih lestari hingga kini.

Inibaru.id - Di sebuah desa kecil bernama Wonosoco, di ujung selatan Kabupaten Kudus, bunyi gamelan terdengar lirih berpadu dengan suara dalang yang menembang dalam bahasa Kawi.

Di balik kelir, tampak bayangan wayang berbahan dasar lempengan kayu, bukan kulit sebagaimana umumnya, yang diukir oleh pemahat terampil. Inilah Wayang Klitik Wonosoco, salah satu peninggalan seni pertunjukan tradisional Jawa yang masih hidup, meski nyaris punah di banyak tempat lain.

Berbeda dengan wayang purwa yang umumnya bercerita tentang kisah dalam Mahabharata dan Ramayana, wayang klitik mengangkat kisah-kisah babad Tanah Jawa. Tokoh-tokohnya berasal dari kerajaan-kerajaan besar seperti Blambangan, Kahuripan, Majapahit, hingga Demak Bintoro.

Ceritanya menelusuri sejarah panjang berdirinya Tlatah Jawa, yang diceritakan dengan gamblang tapi kental akan nilai moral, petuah, dan kebijaksanaan hidup.

“Wayang klitik ini bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan,” ujar Ki Sutikno, satu-satunya dalang wayang klitik yang masih aktif di Kudus.

Ki Sutikno mewarisi kepiawaian mendalang ini dari Sumarlan, ayahnya, yang juga pendalang dari desa yang sama. Dia mulai terbiasa menggerakkan wayang yang lebih berat dari wayang kulit itu pada usia 19 tahun, sembari belajar krama inggil dan Kawi, dua bahasa pengantar pementasan wayang klitik.

Sejarah Wayang Klitik

Ki Sutikno, satu-satunya dalang wayang klitik yang masih aktif di Kudus. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Sejarah wayang klitik di Wonosoco erat kaitannya dengan dua mata air keramat di Kudus, yakni Sendang Dewot dan Sendang Gading. Setiap tahun, warga desa menggelar upacara bersih sendang, ritual "meruwat" sumber air yang dipercaya membawa berkah dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Dalam ritual itulah wayang klitik dipentaskan. Bukan semata sebagai hiburan, pertunjukan ini diyakini warga sebagai sarana komunikasi dengan roh leluhur dan penjaga alam; menjadi bentuk syukur sekaligus permohonan keselamatan bagi desa.

Sutikno mengatakan, wayang klitik memegang fungsi ganda, yaitu sosial dan spiritual. Tradisi ini, dia menambahkan, diyakini telah berlangsung selama ratusan tahun, kita-kira sejak abad ke-13 atau masa ketika ajaran Islam mulai menyebar di Jawa.

Sedikit informasi, kala itu wayang memang menjadi salah satu media dakwah yang cukup ampuh di Jawa. Alih-alih berbahan kulit, wayang klitik memakai kayu pipih yang menunjukkan akar lokal yang kuat; yang kemungkinan merupakan sisa atau adaptasi dari seni ritual pra-Islam di Jawa.

Nggak seperti wayang golek yang kayunya tebal, wayang klitik lebih mirip wayang purwa, tapi berbahan lembaran kayu jati pipih yang dipahat dan diukir begitu detail, kemudian dicat dengan warna sederhana hingga menyerupai tokoh atau karakter tertentu.

Dibanding wayang kulit, wayang klitik jauh lebih berat; karena itulah nggak semua dalang bisa memainkannya. Dibutuhkan tenaga, teknik, dan rasa halus dalam setiap gerakannya.

“(Memainkan wayang klitik) seperti bicara dengan arwah masa lalu,” kata Ki Sutikno sambil menunjukkan koleksi wayangnya yang tersusun rapi di kediaman lelaki bersahaja tersebut; yang tampak dirawat dengan penuh kehati-hatian.

Identitas Spiritual Desa Wonosoco

Seorang jurnalis sedang memegang wayang klitik yang membuatnya kagum. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Sutikno terlihat sangat menghormati wayang klitik. Dia bahkan mengaku selalu melakukan ritual pembersihan dan doa dulu sebelum pementasan. Bagi warga Wonosoco, wayang klitik memang dianggap seolah memiliki unsur magis.

"Saat pentas, musik pengiringnya khas Desa Wonosoco, yang dikenal sebagai Galak Ganjur," kata dia. "Pementasan biasanya digelar pada bulan Ruwah atau Syawal, di hari Sabtu Kliwon atau Sabtu Legi, bertepatan dengan upacara bersih sendang."

Pada malam upacara bersih sendang, warga desa akan berkumpul di halaman balai atau tepi sendang. Anak-anak duduk di depan, para sesepuh menunduk khusyuk. Di tengah gemericik air dan cahaya obor, suara kayu beradu pelan dengan kendang. Saat itulah wayang klitik dimainkan.

Karena masih terus dimainkan, wayang klitik bukan hanya artefak budaya bagi, tapi juga identitas spiritual bagi warga desa setempat. Ia hidup dari generasi ke generasi, berkat tekad beberapa orang yang tetap setia menjaganya.

Ki Sutikno menjadi sosok sentral dalam usaha pelestarian ini. Nggak hanya tampil sebagai dalang, tapi juga guru, perawat, sekaligus juru cerita sejarah Wonosoco.

“Wayang ini seperti doa yang bergerak,” ujar Sutikno. “Kalau ia berhenti, berarti doa kami juga berhenti.”

Kepala desa Setiyo Budi saat ditemui di balai desa sedang menunjukan wayang klitik. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Di Desa Wonosoco, wayang klitik adalah jembatan antara masa lalu dengan masa kini. Ia mengajarkan penghormatan pada air, tanah, dan leluhur; nilai-nilai yang kini semakin jarang dijumpai di tengah modernitas yang serba cepat.

Kelestarian budaya ini tentu saja patut disyukuri, karena kesetiaan Ki Sutikno terhadap seni wayang klitik sejatinya nggak akan bernapas panjang tanpa dukungan dari pemerintah desa setempat. Itulah yang disadari dengan sepenuh hati oleh Kepala Desa Wonosoco, Setiyo Budi.

Sedari awal, dia sudah menyadari bahwa tradisi ini bukan hanya warisan budaya, melainkan identitas yang patut digenggam erat karena membentuk jati diri warganya. Menurutnya, wayang klitik adalah bagian dari jiwa Wonosoco yang pantang untuk nggak diacuhkan.

“Kami akan terus berusaha agar generasi muda tetap mengenalnya. Setiap acara bersih sendang atau kegiatan budaya desa, wayang klitik selalu kami tampilkan. Itu cara kami menjaga warisan leluhur agar tidak hilang,” tutur Setiyo Budi saat ditemui di Balai Desa Wonosoco, belum lama ini.

Selain memberi wadah untuk pementasan, pihak desa juga menggandeng berbagai pihak, termasuk komunitas seni dan dinas kebudayaan daerah, untuk mendokumentasikan dan menghidupkan kembali tradisi ini dalam bentuk festival budaya Wonosoco.

"Beberapa tahun terakhir, kami juga rutin menggelar pelatihan membuat wayang kayu bagi anak-anak sekolah dasar dan remaja. Pelestarian ini tidak bisa hanya bergantung pada satu orang. Harus ada regenerasi,” tutupnya.

Seni pertunjukan hanya akan hidup jika ada dua unsur, yakni penampil dan penonton. Maka, minimal jadilah salah satu dari keduanya jika kamu ingin kesenian ratusan tahun wayang klitik bernapas jauh lebih lama. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: