Inibaru.id - Menjadi suksesor Ratu Kalinyamat yang namanya begitu populer di seantero Nusantara tentu bukanlah tugas yang mudah. Namun, sepertinya Jepara memang selalu diberkahi pemimpin yang luar biasa. Salah satunya adalah trah Citrosoma yang muncul sekitar dua abad setelah pahlawan nasional itu mangkat.
Kalau kamu pernah ke Jepara, kompleks permakaman keturunan Citrosoma yang mulai memerintah Jepara pada awal abad ke-18 itu berlokasi di Desa Sendang, Kecamatan Kalinyamatan; wilayah pesisir yang dulu diyakini sebagai pusat pemerintahan Kota Ukir.
Keberadaan Desa Sendang sebagai pusat pemerintahan nggak lepas dari legenda terbentuknya wilayah itu, yang begitu dikenal luas di kalangan masyarakat setempat. Menurut warga, nama "Sendang" diambil dari sebuah keajaiban kecil yang pernah muncul di lokasi tersebut.
Kisah itu bermula ketika warga tengah menggali tanah di kawasan pesisir itu. Namun, alih-alih menemukan air asin, dia justru menjumpai mata air tawar muncul dari dalam lubang galian. Air yang berharga ini kemudian ditampung menjadi sendang atau kolam air, sekaligus menamai daerah tersebut sebagai Desa Sendang.
Keberadaan mata air itu membuat tempat ini menjadi persinggahan, bahkan menjadi pusat pemerintahan, termasuk berdirinya Keraton Kalinyamat yang dikenal karena perputaran ekonominya yang bagus dan armada lautnya yang begitu kuat.
Kompleks Makam Citrosoma
Menjadikan Desa Sendang sebagai pusat pemerintahan agaknya masih terus dilakukan hingga ratusan tahun kemudian, termasuk saat trah Citrosoma dipercaya sebagai penguasa Jepara sekitar 1700-an. Bukti keberadaannya bisa dilihat dari Kompleks Makam Citrosoma yang berlokasi di desa tersebut.
Kompleks Makam Citrosoma tampak seperti si renta yang hidup dalam kesunyian, tapi terasa teduh karena dinaungi sejumlah pohon dengan jari-jari percabangan yang begitu banyak dan menghitam serta kulit yang telah berkerut dimakan waktu.
Deretan nisan batu yang kusam dan berlumut mungkin usianya sepantaran dengan pohon-pohon itu. Pun demikian dengan bangunan Masjid Annur yang ubinnya begitu dingin, terlihat bersahaja dengan satu menara untuk mengumandangkan azan yang berdiri di sisi barat makam.
Masjid yang dibangun pada masa Citrosoma III ini diyakini sebagai salah satu yang tertua di Jepara. Struktur bangunannya telah beberapa kali direnovasi, tapi jejak arsitektur lamanya masih terasa: tiang-tiang kayu jati, atap tumpang tiga dan ornamen ukiran sederhana yang menandai estetika Islam pesisiran abad ke-18.
Sepelemparan batu dari masjid itu, deretan nisan yang berjajar rapi terpahat nama-nama trah Citrosoma yang pernah menjadi adipati Jepara, mulai dari mendiang Ki Wuragil Djiwosuto yang kemudian dikenal sebagai Adipati Citrosoma I hingga sembilan keturunannya.
Ihwal Mula Trah Citrosoma
Ki Wuragil Djiwosuto adalah pengawal Sultan Agung Mataram yang dikenal karena keberaniannya meredam ontran-ontran di pesisir utara Jawa, termasuk menumpas pasukan Belanda yang mencoba menguasai wilayah pesisir bersama para adipati dari Probolinggo hingga Tegal.
Atas jasanya, Pakubuwono I memberinya gelar Bupati Prangwadono beserta sebilah keris pusaka bernama Kyai Bethok. Dia kemudian diberi gelar Adipati Citrosoma I dan diangkat sebagai Bupati Jepara pada 1708 menggantikan Adipati Soedjonopoera.
Sejak saat itulah nama Citrosoma menjadi gelar turun-temurun sebagai penguasa Jepara, yang berlangsung hingga sembilan keturunan. Juru kunci Kompleks Makam Citrosoma mengatakan, semasa hidup, Adipati Citrosoma I nggak hanya dikenal sebagai penguasa wilayah, tapi juga tokoh spiritual.
“Beliau itu orangnya wirasat, sakti, tapi rendah hati. Karena itulah tempat ini selalu ramai peziarah,” ujar sosok yang memilih disebut sebagai Mbah Kuncen itu kepada Inibaru.id, belum lama ini.
Sekilas melihat, makam trah Citrosoma tampak sederhana dengan sedikit penanda kebangsawanan seperti jirat atau kijing yang besar dengan hiasan makuta gepeng di puncaknya. Jirat besar inilah yang membedakan mereka dengan "penghuni" lain di permakaman tersebut.
Ramai pada Bulan Agustus
Salah satu nisan yang paling mudah dikenali adalah makam Adipati Citrosoma VII, yang bernama lahir Raden Mas Soedargo, yang memimpin Jepara hingga akhir abad ke-19. Di dekatnya ada Citrosoma VI, bupati Jepara periode 1810–1850 yang bernama asli Ki Noto.
Oya, salah satu yang menarik di kompleks permakaman ini adalah keberadaan nisan RMAA Sosroningrat (Bupati Jepara pada 1881) dan Mas Ayu Ngasirah, kedua orang tua RA Kartini yang sejatinya juga terdapat di kompleks permakaman Sedo Mukti, Kaliputu, Kabupaten Kudus.
Namun, terlepas dari misteri yang hingga kini belum terpecahkan tersebut, Kompleks Makam Citrosoma adalah salah satu "arsip" dari penggalan periode kekuasaan di Jepara yang begitu berharga bagi warga setempat.
Jika mereka menjadi penguasa yang lalim selama menjabat, trah Citrosoma mungkin kini sudah dilupakan warga Jepara. Namun, kemeriahan haul Citrosoma pada bulan Agustus yang selalu dihadiri ratusan peziarah menjadi tanda bahwa mereka dikenang sebagai sosok yang positif sejauh ini.
Di antara nisan-nisan tua dan suara azan dari Masjid Annur, kompleks permakaman ini bukan sekadar tempat peristirahatan, tapi buku terbuka yang mencatat sejarah Jepara selama era kolonialisme, termasuk kisah heroik dan kebijaksanaan yang melekat di dalamnya. Ada yang pernah ke sini, Gez? (Imam Khanafi/E10)
