BerandaTradisinesia
Sabtu, 10 Mar 2023 09:53

Tradisi Sadranan Boyolali; Mengingat Leluhur dan Hidup Rukun dengan Sesama

Masyarakat Desa Sukabumi, Boyolali membawa tenong berisi makanan berbondong-bondong menuju Makam Puroloyo untuk malakukan tradisi Sadranan. (Jatengprov)

Setiap Bulan Ruwah, masyarakat di Desa Sukabumi Boyolali menggelar tradisi Sadranan untuk menyambut datangnya Ramadan. Seluruh warga berkumpul dan membaur untuk mendoakan leluhur dan berbagi makanan antarsesama.

Inibaru.id – Menjelang Bulan Ramadan, hampir setiap daerah di Jawa Tengah menggelar tradisi penyambutan bulan penuh berkah itu. Masyarakat muslim akan menyambut Bulan Puasa dengan suka cita lewat berbagai tradisi unik yang sakral dan penuh makna simbolik.

Salah satu yang ramai dan konon jauh lebih meriah daripada Lebaran adalah tradisi sadranan yang ada di Makam Puroloyo, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali. Acara ini biasanya berlangsung pada pertengahan Bulan Ruwah kalender Jawa atau Bulan Syaban kalender Islam. Untuk tahun ini, sadranan di lereng Gunung Merapi Boyolali ini sudah berlangsung Kamis (9/3/2023).

“Sadranan di Desa Sukabumi berlangsung tiap tanggal 16 Ruwah. Diikuti warga dari Desa Sukabumi, sebagian Desa Mliwis, dan Desa Cepogo,” kata sesepuh Desa Sukabumi Maskuri.

Nah, kamu pengin tahu bagaimana gambaran keramaian tradisi Sadaranan kemarin? Ratusan warga berduyun-duyun menyunggi tenongan berdiameter 80 sentimeter yang berisi berbagai makanan, buah-buahan, serta aneka jajanan pasar menuju Makam Puroloyo.

Mereka berkumpul untuk menggelar pengajian, zikir, tahlil, dan doa yang dipimpin oleh sesepuh desa. Seusai berdoa, warga baik dewasa maupun anak-anak saling berebut makanan yang dibawa. Hal itu dipercaya sebagai simbol kerukunan, sedekah, dan saling berbagi.

Di acara tersebut, warga-warga yang merantau kembali pulang ke kampung halaman. Selain mengikuti jalannya tradisi sadranan, mereka juga bersilaturahmi kepada keluarga dan kerabatnya.

Sudah Ada Sejak Abad 16

Masyarakat menyantap makanan dalam acara sadranan. (Kompasiana/Beni Sutanto)

Menurut Maskuri, sadranan di Desa Sukabumi sudah ada sejak tahun 1.500 karena berkaitan dengan tokoh pendiri daerah tersebut.

“Itu dari cerita dan beberapa literatur yang ada. Yang pertama soal tempat ini (cikal bakal Dukuh Tunggulsari, Desa Sukabumi). Namanya Syeikh Ibrahim berjuluk Kyai Bonggol Jati,” terangnya, dikutip dari Detik, Kamis (9/3).

Syeikh Ibrahim dikenal sebagai penyebar Islam di wilayah Cepogo. Dia disebut sebagai salah satu anggota tim utusan dari Kerajaan Demak Bintoro yang menyebarkan Islam ke wilayah selatan.

“Mbah Bonggol Jati meninggal dan dimakamkan di sini (makam Puroloyo). Kemudian anak cucunya sampai sekarang setiap tahun ziarah kubur, bubak (bersih-bersih makam) yang disebut sadranan,” papar Maskuri.

Semangat Berbagi

Tradisi ini merupakan bentuk kegiatan amaliyah dari warga untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. (Detik/Jarmaji)

Selain mengingat dan mendoakan leluhur, sadranan di Bulan Ruwah ini juga menunjukkan sikap saling berbagi antarsesama. Hal itu tampak dari banyak dan bervariasinya makanan yang dibawa ke makam untuk dibagi-bagi dan dimakan bersama.

“Tradisi ini merupakan bentuk kegiatan amaliyah dari warga untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. Warga mengeluarkan sedekah berwujud makanan menggunakan tenong. Tenong ini mengandung maksud agar anak cucu tetap hidup rukun, menyatu dalam keluarga,” terang Maskuri.

Sepertinya menyenangkan ya kalau bisa ikut dalam acara-acara semacam sadranan ini, Millens? Dalam tradisi yang masih kental itu kita bisa selalu mengingat Tuhan, leluhur, dan hidup rukun dengan orang lain. (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024