Inibaru.id - Lumpur dipercaya mengandung banyak mineral, bentonit, dan germanium, yang baik untuk kulit. Inilah yang menjadi latar belakang dibuatnya Festival Lumpur Boryeong, salah satu festival musim panas paling populer di Korea Selatan yang (harusnya) digelar pada pertengahan hingga akhir Juli ini.
Untuk alasan yang berbeda, Indonesia juga memiliki sejumlah "festival lumpur" yang nggak kalah seru, salah satunya yang rutin digelar di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menyebutnya Popokan alias "perang lumpur".
Laiknya festival lumpur di Korea, secara garis besar Popokan juga merupakan tradisi saling melempar lumpur. Nggak hanya dilakukan anak-anak atau remaja, nggak jarang orang-orang dewasa juga turut serta dalam ritual yang digelar saban Agustus, tepatnya pada Jumat Kliwon di bulan tersebut.
Kendati disebut "perang", masyarakat melakukan tradisi tahunan ini dengan suka cita. Jadi, nggak ada dendam di antara mereka. Bahkan, tradisi yang sudah berlangsung secara turun-temurun itu menjadi cara bagi para warganya untuk menyucikan diri sekaligus menolak bala.
Berawal dari Teror Harimau
Konon, suatu ketika Desa Sendang diteror oleh kemunculan seekor harimau yang mengganggu keselamatan warga. Harimau tersebut juga memakan hewan ternak. Pelbagai cara dan senjata dikerahkan orang-orang untuk mengusir sang macan, tapi selalu gagal.
Kemudian, muncullah seorang pemuka agama yang menyarankan agar orang-orang nggak mengusir harimau dengan kekerasan. Saran dituruti. Warga pun kemudian memopok (melempari) raja hutan itu dengan lumpur sawah; dan berhasil!
Sejak peristiwa tersebut, tradisi popokan atau saling melempar lumpur sawah pun digelar. Tujuannya, untuk menjauhkan kejahatan dan menolak bala di daerah mereka. Selain itu, tradisi ini juga menjadi wujud syukur warga pada Sang Pencipta karena telah diberi keselamatan.
Warga percaya, lumpur yang dilemparkan mengandung berkah. Karenanya, alih-alih marah, mereka justru senang saat terkena lumpur.
Empat Ritual Penting
Popokan merupakan ritual terakhir dari empat rangkaian tradisi yang umumnya digelar dua hari. Pada Kamis sore (sehari sebelum Popokan), masyarakat setempat akan memulainya dengan kerja bakti membersihkan sendang atau sumber mata air. Ritual tersebut dilakukan laki-laki dewasa di desa itu.
Bagi mereka, sendang adalah sumber kehidupan, karena masyarakat memenuhi kebutuhan, mulai dari mengairi sawah, mandi, mencuci pakaian, hingga minum dengan air tersebut. Jika sumber mata air bersih, mereka percaya bakal terhindar dari penyakit dan kotoran.
Selanjutnya, warga desa akan membuat tumpeng, nasi berbentuk gunungan dengan berbagai sayur dan lauk, termasuk ingkung ayam. Tumpeng biasanya melambangkan harmonisasi manusia dengan Tuhan, makhluk lain, dan sesamanya.
Pada acara ini, para lelaki bakal duduk melingkar, lalu membaca doa yang dipimpin modin. Setelahnya, tumpeng diarak menuju area persawahan yang bakal menjadi medan perang lumpur bersama replika macan yang digiring warga. Selama prosesi ini, mereka juga membuat pergelaran seni.
Tumpeng yang diarak kemudian dibawa ke balai desa, lalu didoakan. Setelahnya, warga bakal saling berebut tumpeng untuk mendepatkan berkah dari doa-doa yang dilantunkan pemuka agama setempat.
Terakhir, barulah mereka bakal melakukan ritual popokan. Nggak cuma peserta yang nggak boleh marah saat terkena lumpur, para penonton yang terciprat lumpur juga dilarang mendendam. Hm, seru ya, Millens?
Lantaran masih berada di tengah pandemi, belum ada kabar lagi apakah tradisi popokan di Desa Sendang tahun ini bakal digelar atau tidak. Duh, sayang sekali ya! (Etn/Bud/Inf/MG42/E03)