BerandaTradisinesia
Rabu, 28 Nov 2023 10:39

Tradisi Menyumbang di Gunungkidul Memberatkan Perekonomian Warga

Ilustrasi: Tradisi nyumbang saat kondangan di Gunungkidul memberatkan banyak orang. (Kompasiana/Sri Rohmatiah)

Di Gunungkidul, kalau sedang musim hajatan, warga bisa sampai menyumbang ke 5 tempat dalam sehari. Hal ini membuat keuangan mereka tekor. Bahkan ada yang sampai berutang gara-gara hal ini.

Inibaru.id – Belakangan ini meme yang berisi potongan gambar yang menunjukkan warga Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta bisa menghabiskan uang banyak untuk menyumbang saat kondangan viral di media sosial. Apakah hal ini memang benar-benar terjadi di sana?

Ternyata, budaya jagong atau kondangan yang cukup memberatkan, khususnya bagi kalangan kelas menengah ke bawah ini benar-benar terjadi di sana. Salah seorang warga Kalurahan Siraman, Wonosari bernama Retnoningsih mengakuinya.

“Kalau yang hajatan nggak begitu dekat, saya nyumbang Rp50 ribu. Kalau kenal dekat, apalagi sampai ngasih punjungan (undangan berbentuk makanan), mau nggak mau ngasih paling sedikit Rp100 ribu. Masalahnya kalau sudah musim hajatan, sehari bisa sampai lima tempat yang harus saya datangi,” ujar perempuan berusia 44 tahun tersebut sebagaimana dilansir dari Kumparan, (28/9/2023).

Gara-gara hal ini, cukup banyak warga Gunungkidul yang pada akhirnya berutang demi bisa menyumbang. Apalagi jika yang memberikan undangan orang yang dikenal dekat. Mereka mau nggak mau harus melakukannya.

“Banyak yang sampai utang kalau memang pas nggak punya duit. Mau gimana lagi. Ini ongkos sosial. Kalau sampai nggak nyumbang apalagi nggak datang. Nantinya pas ketemu di lain hari akhirnya sungkan,” jelasnya.

Mendapatkan Perhatian Bupati

Pemerintah Gunungkidul mengaku pengin mengintervensi agar tradisi jagong nggak memberatkan ekonomi masyarakat. (Inibaru.id/ Triawanda Tirta Aditya)

Saking terkenalnya budaya menyumbang uang dalam jumlah banyak sampai memberatkan ekonomi warga ini, Bupati Gunungkidul Sunaryanta sampai ikut memberikan perhatian. Dia mengaku sedang mencari solusi untuk hal tersebut.

“Fenomena tingginya biaya hajatan, budaya nyumbang atau jagong di Gunung Kidul ini memang memberatkan masyarakat. Nanti kita kaji bagaimana caranya agar hajatan nggak memberatkan,” ucap Sunaryanta di Balai Kalurahan Wunung, Wonosari saat mengikuti acara Bimtek Pamong Kalurahan sebagaimana dilansir dari Kumparan, (27/9).

Sayangnya, meski pemerintah setempat terpikir untuk mengintervensi, kalau menurut pakar budaya sekaligus Kepala Pusat Studi Pedesaaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Bambang Hudayana, hal tersebut nggak perlu dilakukan. Menurutnya, itu adalah wujud dari gotong royong yang memang biasa dilaksanakan masyarakat di kawasan pedesaan.

“Kalau mengintervensi saya pikir pemerintah nggak boleh ya. Soalnya itu hak warga untuk menyumbang banyak atau nggak. Tapi kalau mengedukasi agar nggak memberatkan, saya kira tidak apa-apa,” ungkap Bambang.

Memangnya, seperti apa edukasi yang bisa dilakukan? Sebagai contoh, jika ada hajatan, bisa digelar dengan cara sederhana, bukannya pesta mewah. Jadi, yang diundang juga hanya kerabat atau tetangga dekat saja. Makanan yang disajikan juga bisa dipilih agar tidak terlalu mewah sehingga tamu yang datang nggak perlu terbebani untuk harus menyumbang uang dalam jumlah besar.

“Nantinya bisa jadi standar baru di masyarakat, baik itu yang menggelar hajatan maupun yang menyumbang. Jadi nanti hajatan yang digelar nggak jadi ajang cari untung ataupun soal gengsi sosial,” sarannya.

Hm, sebenarnya fenomena musim hajatan yang bikin pusing banyak orang ini terjadi di hampir banyak tempat di Tanah Air ya, Millens? Kalau menurut kamu, apakah memang perlu ada aturan agar hal ini nggak lagi memberatkan perekonomian masyarakat? (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024