Inibaru.id - Salah satu yang membuat Yogyakarta istimewa adalah tata kotanya yang berpatokan pada Sumbu Filosofi Yogyakarta. Itu adalah sebuah sumbu imajiner berupa garis lurus yang membentang dari arah utara hingga selatan, ditarik dari Panggung Krapyak hingga Tugu Pal Putih (tugu Golong-gilig) dan Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Menurut Visitingjogja (29/3/2023), Sumbu Filosofi Yogyakarta melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablum min Allah), manusia dengan manusia (Hablum min Annas), maupun manusia dengan alam, yang meliputi api (dahana), tanah (bantala), air (tirta), angin (maruta) dan akasa (ether).
Oleh Sri Sultan Hamengku Buwana konsep tersebut diubah ke filosofi Islam Jawa “Hamemayu Hayuning Bawana”, dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”.
Pencipta Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menurut Yuwono Sri Suwito dalam tulisan Mengenal Sumbu Imajiner dan Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta, Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi adalah pencipta Sumbu Filosofi Yogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi membangun Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan memilih Yogyakarta sebagai ibukota kerajaan.
Pertimbangan ini bukan tanpa alasan, pemilihan Yogyakarta sebagai ibu kota juga berkaitan dengan nilai filosofis magis. Maklum, selain sebagai orang yang ahli di bidang strategi perang, Pangeran Mangkubumi juga seorang arsitek yang sangat memegang teguh nilai historis maupun filosofis.
Beberapa sumber juga menyatakan bahwa Pangeran Mangkubumi sendirilah yang menentukan bentuk dan luas Kraton serta ibu kota Ngayogyakarta kala itu. Sampai sekarang ukuran itu masih disimpan di dalam Kraton Yogyakarta, dan menjadi salah satu pusaka keramat yang dinamai Kyai Baladewa.
Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta
Mengutip dari laman Karaton Ngayogyakarya Hadiningrat (30/3), wujud konsep Jawa ke dalam tata ruang Kota Yogyakarta dihasilkan dari proses menep atau perjalanan hidup Pangeran Mangkubumi.
Dalam laman tersebut dijelaskan dalam membangun Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I menggunakan konsepsi Jawa dengan mengacu pada benteng alam yang ada, seperti gunung, laut, sungai, serta daratan.
Prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunan keraton oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah konsepsi Hamemayu Hayuning Bawono. Artinya membuat Bawono (alam) menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan lestari).
Oleh sebab itu, Sumbu Filosofi Yogyakarta berada dalam kerangka kosmologi sumbu imajiner Gunung Merapi-Kraton-Laut Selatan.
Sementara itu, sumbu nyata yang membentang dari utara hingga selatan dalam satu garis lurus adalah jalan yang menghubungkan Tugu Golong-gilig, keraton, dan Panggung Krapyak yang di dalamnya menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi.
Poros Keraton Yogyakarta hingga Tugu mencerminkan kewajiban Sultan untuk melindungi dan mengayomi rakyat. Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan) yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.
Wah, keren dan dalam banget makna dari penyusunan tata kota Yogyakarta, ya? Semoga kekayaan filosofi itu nggak berhenti sebagai simbol-simbol belaka. Namun, dapat digunakan sebagai sumber kesadaran akan makna hidup. (Fatkha Karinda Putri/E10)