BerandaTradisinesia
Rabu, 9 Mei 2023 18:00

Serba-Serbi Jemparingan, Lebih dari Sekadar Olah Raga Panahan

Olah raga jemparingan. (Medcom/Antara - Andreas Fitri Atmoko)

Sekilas, jemparingan mirip dengan olah raga panahan pada umumnya. Padahal, olah raga tradisional ini memiliki perbedaan dengan panahan. Seperti apa sih fakta-fakta terkait dengan jemparingan?

Inibaru.id – Meski nggak sepopuler badminton, sebenarnya olah raga panahan cukup digemari di Indonesia. Bahkan, di Indonesia, ada olah raga panahan tradisional yang dikenal dengan nama jemparingan.

Beda dengan panahan yang menelurkan atlet berskala internasional seperti Riau Ega dan Dianandra Chourinissa, jemparingan nggak dilakukan dengan posisi berdiri, melainkan dengan duduk bersila. Posisi yang nggak biasa ini tentu jadi tantangan bagi mereka yang pengin melepaskan anak panah ke sasaran.

Cara membidik sasaran dalam jemparingan juga berbeda dengan olah raga panahan pada umumnya. Busur panahnya nggak diposisikan secara vertikal, melainkan secara horisontal. Itupun busurnya ditempatkan di depan perut, bukannya dekat dengan mata. Unik banget, ya?

Mengapa posisi duduknya harus bersila dan busur panahnya nggak ditempatkan dekat mata agar sasaran mudah dibidik? Ternyata, hal ini disesuaikan dengan filosofi olah raga ini, yaitu pamenthaning gandewa pamanthening cipta.

Makna dari filosofi tersebut adalah dalam kehidupan, manusia harus fokus demi menggapai cita-cita. Nah, dalam jemparingan, manusia harus mampu berkonsentrasi dengan baik saat membentangkan busur sehingga anak panah yang dilepas bisa mencapai sasaran.

“Intinya sih, sasarannya dilihat dengan mata hati, bukannya mata fisik. Mata fisiknya untuk memperkirakan target. Kalau mata hati itu harus selalu hidup,” ungkap salah seorang keluarga Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat saat berada di Alun-Alun Kidul Kota Yogyakarta sebagaimana dikutip dari Kompas, Sabtu (30/7/2022).

Jemparingan populer di Yogyakarta. (Kaskus/Kaum.milenial)

Omong-omong, jemparingan sudah eksis selama ratusan tahun. Olah raga ini diyakini eksis saat Keraton Ngayogyahadiningrat masih dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Saat itu, olah raga ini diperuntukkan bagi para prajurit kerajaan saja.

Menariknya, menurut Kompas, (28/8/2022), jemparingan lebih dari sekadar melatih para prajurit memanah dengan baik. Olah raga ini diyakini mampu membangun watak ksatria karena mampu meningkatkan nilai sawiji, greget, sengguh, serta ora mingkuh.

Sawiji bisa diartikan sebagai konsentrasi, sementara greget bisa diartikan sebagai semangat. Selain itu, sengguh adalah kepercayaan diri dan ora minggu bermakna rasa tanggung jawab.

Seiring dengan waktu, jemparingan nggak hanya dilakukan prajurit atau anggota kerajaan. Masyarakat umum juga diperbolehkan melakukannya. Kini, di Yogyakarta, secara rutin digelar perlombaan jemparingan. Biasanya lomba ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu untuk laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan anak-anak.

Yang menarik, peserta lomba biasanya memakai pakaian khas Jawa lengkap. Yang laki-laki, baik itu dewasa atau anak-anak memakai blangkon dan lurik. Sementara itu, kaum perempuan biasanya memakai sanggul.

Di Yogyakarta, popularitas jemparingan cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan adanya 60 klub jemparingan di seluruh DIY. Di Solo Raya, juga ada setidaknya 57 klub.

Semoga saja semakin banyak generasi muda yang ikut klub jemparingan ini, ya, Millens. Nggak hanya melestarikan olah raga tradisional, bisa jadi mereka akan menjadi bibit-bibit pengganti Riau Ega di masa depan dan bisa berprestasi di kancah olah raga dunia. Setuju? (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024