BerandaTradisinesia
Rabu, 27 Jun 2023 14:00

Rangkaian Sedekah Bumi, Wujud Syukur dan Harapan kepada Tuhan

Salah satu ritual hajatan penutup sedekah bumi yang diikuti kepala desa beserta perangkat desa. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Tradisi sedekah bumi yang digelar di Kabupaten Pati memiliki rangkaian yang panjang dan penuh makna. Semua itu merupakan wujud terima kasih masyarakat kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan.

Inibaru.id - Zulkaidah, bulan ke-11 dalam penanggalan Hijriah dikenal sebagai Bulan Apit di Jawa. Disebut demikian karena bulan ini diapit oleh dua hari besar umat muslim, yakni Idulfitri (Syawal) dan Iduladha (Zulhijah).

Di Jawa, bulan yang sudah berakhir pada 18 Juni lalu tersebut biasanya diperingati dengan pelbagai perayaan, misalnya tradisi sedekah bumi. Hal ini juga dilakukan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di Bumi Mina Tani itu, sedekah bumi digelar di tiap desa.

Untuk informasi, sedekah bumi adalah simbol syukur masyarakat akan karunia Tuhan berupa hasil bumi yang melimpah. Setiap desa di Pati memiliki tanggal yang berbeda-beda dalam melaksanakan tradisi yang sarat makna ini. Setali tiga uang, ritual dan tata caranya pun nggak sama.

Tradisi sedekah bumi di Desa Gulangpongge, Kecamatan Gunungwungkal, misalnya, digelar pada 15 Juni lalu; yang dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan Kamis Pahing, Bulan Apit, Tahun Aboge. Sedekah bumi di desa ini digelar saban tahun dengan tata cara dan urutan yang sama.

Harus Sesuai Urutan

Warga desa Gulangpongge maupun warga luar desa berkerumun di punden Desa Gulangpongge untuk mengikuti tradisi sedekah bumi. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Kepala Desa Gulangpongge Kuntardi. Dia menegaskan, ritual-ritual dalam sedekah bumi ini harus dilaksanakan dan urutannya nggak boleh dibolak-balik; harus sesuai dengan tradisi turun-temurun yang sudah diwariskan sejak zaman dahulu.

“Ritual dimulai pada Rabu Legi dengan pemotongan hewan kerbau jantan, Mbak. Setelah itu, dilanjutkan dengan ziarah ke makam pendiri desa,” terang Kuntardi kepada Inibaru.id di tengah perayaan sedekah bumi di desanya, beberapa hari lalu.

Rabu malamnya, Kepala desa beserta perangkat mengadakan hajatan Rasulan sebagai simbol meminta izin untuk mengadakan tradisi sedekah bumi atau dalam Bahasa Jawa dikenal dengan istilah “ngaturi”. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan pergelaran kesenian Tayuban di rumah kepala desa.

Hari berikutnya, yakni Kamis Pahing, ritual sedekah bumi dilanjutkan dengan karnaval keliling desa. Kuntardi mengatakan, acara inilah yang paling meriah dan ditunggu-tunggu masyarakat. Nggak hanya warga desa, festival ini juga cukup menyedot perhatian orang-orang dari desa tetangga.

Dua Macam Hajatan

Suasana arak-arakan sedekah bumi Desa Gulangpongge diikuti oleh kesenian terbangan rebana untuk mengiring pucak dan gunungan. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Oh ya, sebelum karnaval, kepala desa mengadakan hajatan di punden desa menggunakan dekem atau ingkung ayam khas Jawa beserta nasi. Ayam ingkung berarti manekung, yang dalam bahasa Jawa bermakna memanjatkan doa. Untuk peserta hajatan, biasanya berasal dari desa lain.

“Ritual hajatan ini sangat ramai dan seru. Orang-orang yang ikut hajatan saling berebut nasi dan ayam yang sudah didoakan bersama. Mereka percaya, hidangan hajatan ini akan membawa rezeki yang melimpah,” ucap Kuntardi.

Secara garis besar, ada dua macam hajatan yang dilakukan, yakni hajatan di punden desa dan di rumah kepala desa. Hajatan pertama diikuti oleh warga dari luar desa, bertempat di punden desa Gulangpongge.

Acara hajatan diawali dengan arak-arakan atau karnaval ke punden desa. Arak-arakan ini berisikan iring-irangan pucak atau miniatur rumah yang berisi berkat untuk kondangan dan gunungan hasil bumi. Karnaval juga dimeriahkan oleh pertunjukan barongan, drum band, tari-tarian, dan berbagai kesenian lain.

Dijogeti Penari Tayub

Pertunjukan wayang kulit turut memeriahkan acara sedekah bumi Desa Gulangpongge. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Setelah hajatan di punden desa terselesaikan, acara dilanjutkan dengan hajatan penutup sedekah bumi yang diadakan di rumah kepala desa. Hajatan ini menggunakan dua buah ambengan atau nasi yang diletakkan di tampah bambu dan diberi lauk di sekillingnya.

“Sebelum dihajatkan, ada ritual lagi, yakni dua ambengan tadi dijogeti dulu sama penari tayub atau sinden. Caranya, sinden mengitari ambengan sebanyak tiga kali dengan menari dan berjalan mundur,” tutur Kuntardi.

“Kami melaksanakan hajatan penutup untuk memohon kepada Tuhan agar satu tahun yang akan datang desa kami diberkahi rahmat, subur, makmur, gemah ripah loh jinawi. Semoga warga desa kami juga diberi ketentraman, kesejahteraan, dan keselamatan", tandasnya.

Seusai hajatan penutup, acara dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian wayang kulit sehari semalam. Barulah setelah itu warga menggelar berbagai macam seni pertunjukan sebagai hiburan. Pertunjukan ini digelar di masing-masing dukuh.

Oya, di beberapa desa di Pati, tradisi sedekah bumi masih bakal berlanjut hingga menjelang Suro atau pergantian tahun Hijriah. So, kalau kamu tertarik mengikuti rangkaian lanjutan dari tradisi sedekah bumi ini, silakan langsung datang ke Pati saja ya! (Rizki Arganingsih/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakal Diisi Siswa Pintar dan Berprestasi, Apa Itu SMA Unggulan Garuda?

17 Jan 2025

Mencari Tahu Sejarah Nama Kecamatan Kunduran di Blora

17 Jan 2025

204 Pendaftar Pelatihan Keterampilan Gratis di BLK Rembang, Bakery Jadi Kejuruan Favorit

17 Jan 2025

Fenomena 'Sad Beige Mom', Benarkah Warna Netral Bisa Mempengaruhi Perkembangan Anak?

17 Jan 2025

Mulai Hari Ini, Kamu Bisa Wisata Perahu di Kali Pepe di Gelaran Grebeg Sudiro Solo!

17 Jan 2025

'Asura', Serial Keluarga Terbaru dari Koreeda Hirokazu

17 Jan 2025

Memasak Wajik untuk Hajatan; Lelaki Mengaduk, Perempuan Meracik

17 Jan 2025

Setelah Jadikan Ratu Kalinyamat sebagai Pahlawan Nasional, Apa Langkah Lestari Moerdijat Selanjutnya?

17 Jan 2025

Untuk Mental yang Lebih Sehat, Ayo Lakukan Decluttering di Rumah!

18 Jan 2025

BPS: Pengeluaran Harian Lebih dari Rp20 Ribu Nggak Tergolong Orang Miskin

18 Jan 2025

Swedia Kembali Gunakan Buku Cetak untuk Pendidikan

18 Jan 2025

Jalan Kaki Seru bareng Komunitas Mlaku Magelang

18 Jan 2025

Lebih Nyaman, Tiga KA di Daop 4 Semarang Beroperasi dengan Sarana Terbaru

18 Jan 2025

Memahami 'Dark Feminine Energy'; Apakah Baik Dimiliki Perempuan?

18 Jan 2025

Sajian Khas Imlek, Berapa Lama Kue Keranjang Bisa Awet?

19 Jan 2025

Membesuk Penjara Mlaten Semarang, si Tua Renta yang Sekarang Malih Rupa

19 Jan 2025

Mengapa Saat Hujan Kita Pengin Makan Mi Kuah?

19 Jan 2025

Healing Seru dengan Main ke Green Kayen Yogyakarta

19 Jan 2025

Tangan Istimewa Rory Delap dan Pratama Arhan di Dunia Sepak Bola

19 Jan 2025

Menilik Tradisi Nyadran Rejeban Plabengan di Lereng Gunung Sumbing

19 Jan 2025