Inibaru.id - Menjelang jam sepuluh pagi, Kamis (15/6/2023), Jalan Desa Gulangpongge Kecamatan Gunungwungkal mulai dipadati lautan manusia. Ribuan orang tampak nggak sabar untuk segera menyaksikan acara karnaval sedekah bumi yang digelar setahun sekali itu.
Tepat pukul 10.00 WIB, kirab budaya yang berpusat di Punden Desa Gulangpongge itu dimulai. Kirab dimeriahkan oleh rombongan kesenian barongan, drum band, tari-tarian oleh warga, dan kesenian terbang rebana untuk mengiring beberapa pucak.
Bagi yang belum tahu, pucak adalah miniatur rumah-rumahan berisi jajanan khas sedekah bumi seperti jenang, gemblong, wajik, pisang, dan lainnya. Jajanan itu adalah hasil sumbangan dari warga desa yang melaksanakan sedekah bumi untuk nantinya dibagikan kepada warga desa lain yang mengikuti kondangan sedekah bumi.
Umumnya pucak ini dipikul oleh empat orang lelaki untuk mengikuti karnaval sedekah bumi. Oiya, pucak biasanya dicat warna-warni dengan dihiasi bendera-bendera kecil dan rumbai-rumbai cantik.
Kepala desa Gulangpongge Kuntardi mengaku, di desanya ada delapan buah pucak yang mengikuti karnaval sedekah bumi. Hal ini disesuaikan dengan jumlah perdukuhan desa yang juga ada delapan dukuh.
Namun, delapan pucak ini memiliki destinasi akhir yang berbeda. Kuntardi menyebutkan, empat buah pucak diiring ke punden desa, sedangkan empat pucak lainnya diarak menuju rumah kepala desa. Hal ini nggak lepas dari kepercayaan orang Jawa yang masih menghormati adanya danyang desa.
“Masyarakat Jawa percaya adanya danyang tak hidup dan danyang hidup. Danyang tak hidup itu pendiri desa yang sudah wafat, sedangkan danyang hidup itu kepala desa,” terang Kuntardi.
“Masyarakat mencoba untuk menghormati keberadaan dua danyang desa itu, sehingga tujuan akhir arak-arakan pucak ada dua tempat,” imbuh lelaki 56 tahun tersebut.
Kuntardi juga menjelaskan bahwa empat pucak yang diarak ke rumahnya, selain berisi jajanan sedekah bumi juga harus memenuhi tiga syarat utama lain.
“Isi pucak yang dibawa ke rumah itu harus ada pisang raja sepasang, kendi kecil berisi air, dan campuran sejumlah bunga yang disebut kembang boreh,” ucap Kuntardi.
Sementara, empat pucak yang diarak ke punden desa yang isinya akan digunakan untuk kondangan bersama, biasanya selain ada jajanan dari isi pucak, pucak juga berisi berkatan berupa nasi dan lauk-pauk yang ditaruh dalam tlandik, keranjang yang terbuat dari anyaman bambu.
“Peserta kondangan umumnya orang-orang dari luar Desa Gulangpongge. Bebas, boleh siapa saja,” tutur Kuntardi.
Salah seorang warga luar desa yang sering ikut kondangan sedekah bumi itu adalah Sukati. Perempuan 53 tahun ini mengaku tertarik rutin mengikuti tradisi ini untuk ngalap berkah atau mencari berkah.
“Saya sangat tertarik ikut kondangan sedekah bumi karena dapat nasi berkatan yang penuh barokah. Selain itu juga asyik bisa berdoa ramai-ramai, Mbak. Ada rasa kerukunan dan kebersamaan yang saya rasakan,” terang Sukati diikuti senyuman.
Sukati menambahkan, berkat yang sudah didoakan bareng-bareng itu nantinya bakal dimakannya bersama keluarga di rumah. Dia berharap, dengan bersama-sama menikmati berkat tersebut, bakal timbul rasa kekeluargaan yang mendalam di antara mereka.
Dilihat dari maknanya yang mendalam, sedekah bumi adalah simbol hidup bergotong royong yang telah telah mendarah daging sejak lama. Selama tradisi ini lestari, kita pun akan terus mengingat ajaran baik yang telah diwariskan secara turun-temurun tersebut. (Rizki Arganingsih/E10)