BerandaTradisinesia
Jumat, 22 Jun 2023 14:19

Mengarak Pucak dan Ngalap Berkah di Kondangan Sedekah Bumi

Pucak berupa miniatur rumah-rumahan ini dipikul oleh dua orang. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Dalam tradisi sedekah bumi khususnya di Kabupaten Pati, pucak menjadi elemen penting dalam arak-arakan sedekah bumi yang nggak boleh ditinggalkan. Pucak ini berisi jajanan yang kemudian digunakan untuk kondangan bersama.

Inibaru.id - Menjelang jam sepuluh pagi, Kamis (15/6/2023), Jalan Desa Gulangpongge Kecamatan Gunungwungkal mulai dipadati lautan manusia. Ribuan orang tampak nggak sabar untuk segera menyaksikan acara karnaval sedekah bumi yang digelar setahun sekali itu.

Tepat pukul 10.00 WIB, kirab budaya yang berpusat di Punden Desa Gulangpongge itu dimulai. Kirab dimeriahkan oleh rombongan kesenian barongan, drum band, tari-tarian oleh warga, dan kesenian terbang rebana untuk mengiring beberapa pucak.

Bagi yang belum tahu, pucak adalah miniatur rumah-rumahan berisi jajanan khas sedekah bumi seperti jenang, gemblong, wajik, pisang, dan lainnya. Jajanan itu adalah hasil sumbangan dari warga desa yang melaksanakan sedekah bumi untuk nantinya dibagikan kepada warga desa lain yang mengikuti kondangan sedekah bumi.

Umumnya pucak ini dipikul oleh empat orang lelaki untuk mengikuti karnaval sedekah bumi. Oiya, pucak biasanya dicat warna-warni dengan dihiasi bendera-bendera kecil dan rumbai-rumbai cantik.

Bendera warna-warni yang ada di pucak ini boleh diambil anak-anak, lo. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Kepala desa Gulangpongge Kuntardi mengaku, di desanya ada delapan buah pucak yang mengikuti karnaval sedekah bumi. Hal ini disesuaikan dengan jumlah perdukuhan desa yang juga ada delapan dukuh.

Namun, delapan pucak ini memiliki destinasi akhir yang berbeda. Kuntardi menyebutkan, empat buah pucak diiring ke punden desa, sedangkan empat pucak lainnya diarak menuju rumah kepala desa. Hal ini nggak lepas dari kepercayaan orang Jawa yang masih menghormati adanya danyang desa.

“Masyarakat Jawa percaya adanya danyang tak hidup dan danyang hidup. Danyang tak hidup itu pendiri desa yang sudah wafat, sedangkan danyang hidup itu kepala desa,” terang Kuntardi.

“Masyarakat mencoba untuk menghormati keberadaan dua danyang desa itu, sehingga tujuan akhir arak-arakan pucak ada dua tempat,” imbuh lelaki 56 tahun tersebut.

Potret bagian dalam pucak berisi makanan khas sedekah bumi. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Kuntardi juga menjelaskan bahwa empat pucak yang diarak ke rumahnya, selain berisi jajanan sedekah bumi juga harus memenuhi tiga syarat utama lain.

“Isi pucak yang dibawa ke rumah itu harus ada pisang raja sepasang, kendi kecil berisi air, dan campuran sejumlah bunga yang disebut kembang boreh,” ucap Kuntardi.

Sementara, empat pucak yang diarak ke punden desa yang isinya akan digunakan untuk kondangan bersama, biasanya selain ada jajanan dari isi pucak, pucak juga berisi berkatan berupa nasi dan lauk-pauk yang ditaruh dalam tlandik, keranjang yang terbuat dari anyaman bambu.

“Peserta kondangan umumnya orang-orang dari luar Desa Gulangpongge. Bebas, boleh siapa saja,” tutur Kuntardi.

Beberapa warga Gulangpongge ketika mengeluarkan isian pucak. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Salah seorang warga luar desa yang sering ikut kondangan sedekah bumi itu adalah Sukati. Perempuan 53 tahun ini mengaku tertarik rutin mengikuti tradisi ini untuk ngalap berkah atau mencari berkah.

“Saya sangat tertarik ikut kondangan sedekah bumi karena dapat nasi berkatan yang penuh barokah. Selain itu juga asyik bisa berdoa ramai-ramai, Mbak. Ada rasa kerukunan dan kebersamaan yang saya rasakan,” terang Sukati diikuti senyuman.

Sukati menambahkan, berkat yang sudah didoakan bareng-bareng itu nantinya bakal dimakannya bersama keluarga di rumah. Dia berharap, dengan bersama-sama menikmati berkat tersebut, bakal timbul rasa kekeluargaan yang mendalam di antara mereka.

Dilihat dari maknanya yang mendalam, sedekah bumi adalah simbol hidup bergotong royong yang telah telah mendarah daging sejak lama. Selama tradisi ini lestari, kita pun akan terus mengingat ajaran baik yang telah diwariskan secara turun-temurun tersebut. (Rizki Arganingsih/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

KPU Jateng Fasilitasi Debat Cagub-Cawagub Tiga Kali di Semarang

4 Okt 2024

Masih Berdiri, Begini Keindahan Bekas Kantor Onderdistrict Rongkop Peninggalan Zaman Belanda

4 Okt 2024

Gen Z Cantumkan Tagar DESPERATE di LinkedIn, Ekspresikan Keputusasaan

4 Okt 2024

Sekarang, Video Call di WhatsApp Bisa Pakai Filter dan Latar Belakang!

4 Okt 2024

Mengapa Banyak Anak Muda Indonesia Terjerat Pinjol?

4 Okt 2024

Ini Waktu Terbaik untuk Memakai Parfum

4 Okt 2024

Wisata Alam di Pati, Hutan Pinus Gunungsari: Fasilitas dan Rencana Pengembangan

4 Okt 2024

KAI Daop 4 Semarang Pastikan Petugas Operasional Bebas Narkoba Lewat Tes Urine

4 Okt 2024

Indahnya Pemandangan Atas Awan Kabupaten Semarang di Goa Rong View

5 Okt 2024

Gelar HC Raffi Ahmad Terancam Nggak Diakui, Dirjen Dikti: Kampusnya Ilegal

5 Okt 2024

Kisah Pagar Perumahan di London yang Dulunya adalah Tandu Masa Perang Dunia

5 Okt 2024

Penghargaan Gelar Doktor Honoris Causa, Pengakuan atas Kontribusi Luar Biasa

5 Okt 2024

Ekonom Beberkan Tanda-Tanda Kondisi Ekonomi Indonesia Sedang Nggak Baik

5 Okt 2024

Tembakau Kambangan dan Tingwe Gambang Sutra di Kudus

5 Okt 2024

Peparnas XVII Solo Raya Dibuka Besok, Tiket Sudah Habis Diserbu dalam 24 Jam

5 Okt 2024

Pantura Masih Pancaroba, Akhir Oktober Hujan, Masyarakat Diminta Jaga Kesehatan

6 Okt 2024

Pasrah Melihat Masa Depan, Gen Z dan Milenial Lebih Memilih Doom Spending

6 Okt 2024

Menikmati Keseruan Susur Gua Pancur Pati

6 Okt 2024

Menilik Tempat Produksi Blangkon di Gunungkidul

6 Okt 2024

Hanya Menerima 10 Pengunjung Per Hari, Begini Uniknya Warung Tepi Kota Sleman

6 Okt 2024