Inibaru.id – Nakal dan membangkitkan berahi! Mungkin, kesan itulah yang masih didapatkan sebagian orang saat menonton pertunjukan Tayub. Kesenian dari Jawa Tengah ini sering dikaitkan sebagai kesenian yang vulgar.
Penilaian ini ditengarai muncul lantaran pada zaman dulu tayub nggak hanya menampilkan gerakan yang erotis, tapi juga kostum yang memamerkan tubuh para ledhek (penari).
Anggapan ini nggak lepas dari faktor sejarahnya. Sebagai tarian kesuburan, tayub semula menjadi bentuk rasa syukur para petani atas hasil panen. Namun, gerakan tarian ini kemudian menjadi semacam ritual. Harapan mereka, semakin erotis tarian para ledhek, semakin subur pula tanah yang akan digarap para petani.
Baca Juga: Nggak Melulu Erotis, Tayub Adalah Tarian untuk Menharap Kesuburan Tanah
Tarian yang semula menjadi ajang memamerkan keluwesan tubuh pun berubah menjadi hiburan orang dewasa. Dari sanalah tradisi saweran (memberi uang pada penari) kemudian muncul.
Tayub menjadi simbol kesuburan yang kemudian diidentikan dengan hubungan seksual. (Etnis)
Pandangan bahwa tayub merupakan kesenian vulgar nggak hanya dimiliki masyarakat, namun juga para bangsawan. Keraton Surakarta Hadiningrat nggak lepas dari kontroversi kesenian ini. Konon, sebelum berubah nama menjadi tayub, keraton mengenal tarian ini sebagai Tari Bedhaya.
Sejak awal, para penari bedhaya memang ditujukan untuk menjadi penghibur sekaligus pemenuh hasrat biologis sang raja. Nggak jarang pula, para penari ini merupakan anak-anak dari para abdi dalem.
Baca Juga:
Mengenal Tayub, Lenggak-lenggok Para Bidadari yang Memesona Banyak Mata
Bukan Semata untuk Kesenangan, Minuman Keras Dalam Kesenian Tayub Memiliki Fungsi Ini
Mereka yang mau melayani raja biasanya berharap hamil sehingga bisa mengangkat status sosial dan ekonomi. Meski begitu, nggak semua penari bedhaya mau melakukannya, lo. Mereka yang menolak biasanya akan menggunakan menstruasi sebagai alasannya.
Dalam buku Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, Darsiti Soeratman mencatat bahwa Sultan Paku Buwana X merupakan salah satu raja yang memiliki banyak penari bedhaya sebagai simpanannya.
Para penonton nggak jarang memberi saweran supaya para ledhek lebih erotis dalam menari. (Info Publik)
Pada masa Sultan Paku Buwana XII, peraturan yang melarang putri raja untuk mempelajari tarian ini kemudian dihapus. Sejak itu, nggak sedikit putri raja yang tertarik menjadi penari bedhaya.
Baca Juga:
Berasal dari Alam 'Bidadari', Tayub Masih Lestari di Kabupaten Wonogiri
Kesenian Tayub Ada Sejak Zaman Singasari sebagai Bagian dari Upacara Syukuran
Meski memiliki sejarah yang nggak lepas dari seksualitas, sejumlah seniman tayub modern berusaha menghilangkan citra negatif ini, lo. Jadi, kalau kamu pengin mempelajarinya, nggak usah khawatir bakal diminta berpakaian terbuka. Sekarang, para ledhek lebih sering menggunakan kebaya lengan pendek ketimbang kemben, kok.
Citra negatif sebetulnya muncul dari otak manusia. Erotis atau tidak, kalau kita melihat itu sebagai semata bentuk kesenian, harusnya nggak bakal ada masalah, kan? (IB15/E03)