Inibaru.id – Meski sekarang nggak dikenal sebagai bangsa perantau, nyatanya orang Jawa bisa ditemukan di berbagai belahan dunia. Yang paling populer tentu saja adalah keberadaan mereka di Suriname, Amerika Selatan.
Per sensus 2021, jumlah orang Jawa di Suriname mencapai lebih dari 80 ribu jiwa atau sekitar 13,7 persen dari total populasi negara tersebut. Kali pertama orang-orang Jawa tiba di negara tersebut adalah pada 9 Agustus 1890, beberapa tahun setelah aturan perbudakan dihapus di sana pada 1 Juli 1863.
“Belanda membawa buruh-buruh kontrak dari Jawa ke Suriname. Kebanyakan dari Semarang dan daerah Jawa Tengah lainnya, Surabaya, dan daerah di sekitar Batavia,” ungkap anggota organisasi budaya Jawa di Suriname, Vereniging Herdenking Javaanese Immigratie (VHIJ) Sharon Pawiroredjo sebagaimana dilansir dari Kompas, (14/7/2022).
Saat kontrak mereka habis, ternyata sebagian besar orang Jawa di Suriname memilih untuk nggak pulang kampung. Bahkan, sebelum Perang Dunia II, tercatat hanya sekitar 20 sampai 25 persen saja yang kembali ke Tanah Jawa.
O ya, kalau dipekerjakan sebagai buruh kontrak, lantas mereka kerja di mana? Ternyata, mereka didatangkan sebagai tenaga kerja di berbagai perkebunan yang ada di sana. Menurut catatan VHIJ, gelombang pertama orang-orang Jawa yang tiba di Suriname dengan jumlah 94 orang dipekerjakan di perkebunan dan pabrik gula di Mariënburg, sebuah desa di distrik Commewijne, sekitar 30 kilometer ke arah timur dari ibu kota Suriname, Paramaribo.
Menurut cerita warga keturunan Jawa di Suriname Toekijan Soekardi, pabrik gula Mariënburg didirikan pada 1882. Dia sempat bekerja di sana selama 40 tahun, tepatnya sampai pabrik gula tersebut dinyatakan pailit dan akhirnya nggak lagi beroperasi pada 1986.
“Dulu bekerja 12 jam sehari, 6 hari atau 7 hari seminggu. Dalam setahun, pabrik gula beroperasi selama 8 bulan. Sisa 4 bulan digunakan untuk pemeliharaan mesin dan peralatan lain. Para pekerja mendapatkan fasilitas toko yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, tempat hiburan, hingga rumah sakit,” cerita Toekijan sebagaimana dilansir dari Kumparan, (15/5/2023).
Selama lebih dari 100 tahun, pabrik gula Mariënburg mampu mengekspor gula dan rum ke luar negeri. Keberadaan pabrik gula ini pun sangat penting bagi perekonomian Suriname. Sayangnya, anjloknya harga gula pada dekade 1980-an dan masalah manajemen membuat pabrik tersebut bangkrut.
Kini, yang tersisa di Mariënburg hanyalah bekas bangunan pabrik gula dan berbagai peralatannya yang terbengkalai. Desanya yang dulu ramai juga sudah ditinggalkan sebagian besar penduduknya yang harus mencari nafkah di tempat lain. Mariënburg sekarang pun lebih populer sebagai lokasi wisata sejarah.
Begitu rupanya cerita orang Jawa zaman dahulu yang diperkerjakan di Suriname. (Arie Widodo/E10)